Kabut Pagi di Ufuk Timur

Cinta sejati adalah ketika dia mencintai orang lain, dan kamu masih mampu tersenyum, sambil berkata: aku turut bahagia untukmu.



“Dauron ukhtiiii” terdengar suara kakak kelasku berteriak di depan kamar mandi entah artinya apa, mungkin “antre dong”. Setiap pagi aku lewati hari-hariku di pesantren dengan penuh kesabaran, jubelan antrean mandi, makan, bahkan keluar wilayah pesantren putri pun harus antre. Aku memang baru dua bulan di pesantren al-Ishlah ini. Menimba ilmu dan mencoba mengukir senyum di wajah kedua orang tuaku. Langit hari ini seindah yang kubayangkan tadi malam. Kicauan burung-burung masih terdengar bersahut sahutan, kadang aku melihat burung gereja sedang asyik bertengger di kawat berduri di atas pagar yang kokoh melindungi daerah pesantren putri kami, inilah yang aku suka dari tempat ini, masih alami dan jauh dari sebisingan kota, meskipun kebisingan suara teman-teman putri sering terdengar di sini.
“Teeet teeet teeet” delapan kali terdengar bunyi bel yang cukup memekakkan telingaku, pertanda sekarang para santri putri harus berkumpul untuk evaluasi para pelanggar nudzum yaumiyyah. Hati ku berdetak setiap kali aku mendengar bunyi jaros tsamaniyah (bel delapan) aku tidak ingin terkena hukuman apapun aku ingin hidup tenang di pesantren ini.
“Man yata’akkhor ‘inda dukhulil masjid??” teriak bagian Keamanan lantang.
Satu demi satu maju kedepan dan siap mempertanggung jawabkan perbuatannya, dalam diam aku kagum terhadap mereka, begitu jujur, bukan malah melempar batu sembunyi tangan, tapi aku nggak tau kalau memang mereka telah ketahuan oleh mata-mata OSIS jadi mereka sudah tidak bisa lari kemana-mana lagi. Kira-kira delapan orang mendapatkan sanksi di malam yang gelap dan dingin ini. Sungguh aku sangat takut, selain karena aku termasuk tilmidzah jadidah aku memang sangat takut melanggar, memanggil panggilan teman dengan “mbak” saja sudah di omelin kanan kiri depan belakang oleh bagian bahasa, apalagi pacaran, suatu perbuatan yang sungguh tak pernah terbesit dalam benakku.
“Ukti Fauzah, Takror yuk!!” kata Ida yang sudah siap dengan tumpukan buku dideapn dadanya
“Iya ishbiri Ukhti, aku masih ngambil buku ni”
“ya udah ana antandzir amamal maskan ya!!!”
“Ya ukti” Jawabku enteng…….

***

“Din, kamu nggak lihat anak-anak putri baru kelas satu???” kata Udin pada Soleh sembari melanjutkan perjalanan ke kelas.
“Emang kanapa??” Soleh balik bertanya.
“Kamu tau Fauzah nggak?? Anak baru, kelas II???” Sambut Udin.
“ Itu to??? Yah itu kan adik kakak kelas kita!!!”
“Masak sih, Leh?”
“Iya,, Itu kan adik Alumni tahun 2004 kemarin, itu, Mufid.”
“Owhhhhh Mufid ta?? Bisa bisa!”
“Emang knapa sih Din, Naksir ya, cantik kan Din?”
“Udah ah, bentar lagi masuk, ayo cepetan”
Jam sudah masuk, Ustad Hasyim pun sudah memulai pelajaran semenjak tadi, mereka masuk mengendap-ngendap tanpa salam yang keluar dari mulut mereka, memang mengucap salam pada majlis ilmu makruh. Ustad Hasyim terlihat bersahaja menggunakan jaz abu-abu, sambil membacakan kitab Idzatun Nasyi’in berwarna hijau tua buah karya Mushtafa el-Gulayaini.
“Lau qooman naasu bimaa wajaba ‘alaihim lakaanan naasu fi jannatil Khuld kalaulah manusia menjalankan kewajibannya masing-masing pastilah manusia akan hidup di dunia serasa di surga” terang Ustad Hasyim, merasuk dalam kalbu mereka masing-masing, “memang sulit untuk membuat manusia sadar akan kewajibannya masing-masing, tapi manusia sangat mudah sadar haknya” sambung mereka dalam hati sendiri-sendiri.
Jam menunjukkan angka satu, suasana begitu panas membakar, ubun-ubun para santri Al-Ishlah, disambut dengan suara lonceng enam kali, terlihat pemukul lonceng menyumbat telinganya sambil mengayunkan pemukul yang berada tepat di tengah bundaran besi bewarna kuning itu. “teng teng teng” nyaring membuat si pemukul mengernyitkan dahi.

***

“Ukhti Fauzah, limadza anti kaslaanah??” Tanya Ida teman sebangkuku sejak kelas satu itu.
“Ana akhof ukhti” aku menggeliat, sambil mengambil buku-buku dengan sisa-sisa semangatku.
“Fa limadzaa???” Tanya ida makin penasaran.
“Aku hanya kepikiran, ada kakak senior mengejarku, ana akhof uthti” aku berdiri gontai.
“Hahahahaha” Ida malah tertawa mendengar penjelasanku, aku merasa menyesal menjawab pertanyaannya.
“Anti kok malah ketawa sih uhti, ana haqiqotan nih” sambil membelalakkan mataku ke arah Ida.
“Ukti, temenku yang imut, yang penting kan anti nggak ngapa-ngapain, knapa sih takut kalo emang, anti gak punya salah, yah kalo anti, merasa takut anti harus melapor pada bagian keamanan tentang hal ini, atau mungkin ke Ustadah Fuada, pasti tok cer, dijamin deh” nasihatnya membuat aku sedikit lebih tenang, Farida dari dulu memang setia padaku, dia tak peduli aku dari kabupaten yang berbeda darinya, pernah aku mendengar kata mutiara “man tholaba akhon bilaa ‘aibin, baqiya bilaa akhin” barang siapa yang mencari teman tanpa cela pasti dia takkan punya teman selamanya, mungkin kata-kata itu yang masih dipegang denga baik oleh temanku ini.
Hari-hariku berlalu, seperti biasa aku mendapatkan salam dari Wawan kakak kelasku pas, sejak seminggu lalu, dia sangat tlaten dia mengirimi aku salam, sampai aku bosan mendengarnya, bahkan aku tak pernah membalas salamnya, pertama karena takut mendapatkan sangsi kedua karena kau memang tidak suka dengannya tidak suka sekali.
“Nakhtatim darsana biqiroatil hamdalah” Pinta ustad di depan kelas, kulihat, keringatnya mengalir di atas urat lehernya, kemudian menghilang ditelan lipatan kerah bajunya.
“Alhamdulillahirobilalamin” Jawab kami serentak, mengejutkan santri yang sedang tidur di deret meja paling depan.
“Hmmmmmm” aku tersenyum dalam hati.
Debu yang dihasilkan seretan kaki para santri tak membuat semangatku meluncur ke kamar menipis, ku melangkah sambil menatap kaca masjid “hmmmmmf manisnya diriku” Pujiku dalam hati, kemudian tersenyum, Ida hanya melihatku, terheran-heran.

***
Udin menggeleng-gelengkan seolah tidak percaya apa yang dia rasakan, hatinya gemuruh, badannya melemas, sengaja dia tidak masuk kelas hari ini,
“Buatkan aku surat ya, Mam! Ana maridh, humma” katanya pada Umam tadi pagi, sambil menggulingkan dirinya dia atas kasur spon tipis.
“Ya bos, yang penting gentian ya besok” Umam tersenyum.
“OK deh Mam, apa sih yang nggak untuk mu” Udin membalas senyumnya.
Udin menatap atap diatasnya seolah ingin menghitung genting yang tertata rapi di atas kayu usuk hitam itu, “Fauzah apa yang membutmu lari-lari di kepalaku, hengkang lah Zah, aku sungguh merelakan kau pergi dari otakku” Gumamnya dalam hati. Entah sejak kali pertama bertemu dengan santriwati yang manis itu, Udin dihadapkan dengan suasana yang baru, benar-benar baru baginya, kadang ada rindu yang menikam hatinya, kadang pula ada rasa kecewa tanpa alasan dirasakannya.
“Ini gimana Rin???” aku sudah nggak kuat lagi menahan ini ingin kuungkapkan saja semua ini padanya sekarang juga” curhat Udin pada Ririn teman sekelasnya.
“Ssssssssssssssssttt sabar to Din sebentar aja, ku atur nanti” Ririn menasihati dengan penuh harapan.
“Ngomong-ngomong sejak kapan kamu punya perasaan ke dia Din, jarang-jarang kamu jatuh cinta??” selidik Ririn sambil menatap Udin mengharap jawaban.
“Anu Rin, saat ada acara uji mental para santri putri, kebetulan aku jadi panitia penjaga pos III, aku menguji mentalnya, pas saat itu bulan purnama, aku melihat sesuatu yang berbeda ri wajahnya, aku hanya melaksanakan nasehat Ustad Syafi’I pada waktu itu “just say subhanallah” gitu Rin, Sejak saat itu aku selalu teringat dia” Udin menerangkan panjang lebar.
“Owhh” Ririn mengangguk.
“Gini din, Siapkan aja surat tembakanmu, besok serahkan padaku, tenang di jamin aman, ok!!!!” Udin mengangguk tanda setuju.

BERSAMBUNG

Posting Komentar

0 Komentar