Burung gereja terlihat menyelip di antara atap masjid segi empat saat
aku keluar dari ruang kelasku, dinding kaca yang kokoh mengelilingi
masjid bercat putih itu memantulkan seragam putih biru yang aku pakai,
tak begitu menyilaukan karena terhalangi oleh triplek penyekat dua kelas
yang ada di samping kiri dan kanan masjid. Para santri masih terlihat
ramai saat aku berjalan di sebelah utaranya, sebagian ada yang ramai dan
mengobrol di sekitar masjid itu sebagian ada yang tidur di bangku,
panas menyengat membuatku mengangkat buku-buku tebalku di atas kepalaku.
Bayanganku masih terlihat di kaca dan masih tetap senyum menghiasi
wajahku saat melihat bayangan itu
“hmmmmmmm. masih seperti dulu” bisikku
dalam hati. Sepintas aku bersisipan Udin, kakak kelasku yang sudah
duduk di bangku kelas empat atau satu Aliah, teman-temannya sering mak
comblangi aku dengannya, tapi aku tetap berjalan seperti biasa tapi
kadang ku merasa risih dengan kata-kata temanku, sekejap aku menatap
matanya, tapi entah mengapa kornea mataku langsung berpaling saat aku
juga tau dia menatapku, aneh hanya aneh yang kurasa, Ida yang bersamaku
sejak tadi hanya berkata, “dzalik lho al-insan ukti dzalik lho”
berkali-kali, aku hanya berkata “na’am-na’am” sambil mengerlingkan
mataku.
Semua temanku terlihat mendukungku bila ku bersamanya, tapi hatiku tak bisa berbohong, aku tak punya perasaan apapun padanya.
Ayu
teman sekelas Udin datang tergagap mendatangiku tetapi senyum tetap
menghiasi wajah imutnya, hingga saat ini aku belum bisa membedakan kapan
dia bersedih dan kapan dia berbahagia, wajah Ayu tetap sama,
“Benar-benar hebat menyembunyikan muka” aku menatapnya lebih dalam.
Dengan cepat dia menyergapku dan menggelitikku sampai ku tertawa lepas,
dia tertawa merayakan kemenangannya.
“Eh Ukhti Limadza to ukhti, anti
la turid ma’a shohibi? Huwa jamil, mahir, wa ghoiru dzalik, madza
an-nuqshon??” Kata Ayu tiba-tiba dengan logat bahasa Jawa yang masih
sangat kental di bibirnya, aku hanya tersenyum dalam hati karena dia
masih kakak kelasku yang juga sering mengajariku mengerjakan PR.
“Ana La adri” aku menggelengkan kepala.
“Almuhim ana la adri” makin cepat aku menggelengkan kepalaku ke arahnya.
“Ya
kholas ukhti, intabihi laut tandam lho hehehe” Ayu tersenyum kepadaku,
tapi aku bersyukur tak ada rasa jengkel nampak di hatinya.
Malam dingin tak terlalu terasa, karena aku bergerumul di antara teman-temanku.
“Bismikallahumma
ahya wa bismika amut” teriak para santri putri memecah kesunyian. Aku
hanya tersenyum saja mendengar suaraku juga suara teman-temanku sendiri.
***
Malam
ini bulan tertutup mendung yang amat tebal, “kreeeeeek” terdengar suara
derit pintu terbuka, satu orang santri belum tertidur hingga larut
malam, ada kertas kosong berwarna biru terlipat di tangannya,
mencari-cari sesuatu di atas deretan almari-almari kayu, satu persatu
dicarinya.
“Ihhh kemana sih pulpen, masak anak satu pondok nggak ada
yang punya pulpen” Udin bergumam sambil mengintip di bawah almari,
kemudian memasukkan tangan kanannya untuk meraih pena pilot warna hitam
tersebut.
“Yes, ana ajid” Udin tersenyum sukses, kemudian membawa pulpen tersebut menghilang dalam kamar sebelah.
“akhirnya, ada satu anak pondok yang punya pen” Udin terbahak dalam hati.
Mata
Udin menerawang melihat kertas surat kosong bewarna biru muda tersebut,
matanya masih putih bersih, belum tampak bercak merah di retinanya.
Terlihat penanya mulai menggores kertas tersebut. Kemudian menulis
kata-kata dalam bahasa Arab.
السلام عليك يا العزيزة, عفوا أوسوسك بحضور هذه الرسالة, عسى الله أن يملئ قلبك بالفوزة العظيمة
كأنني
الآن أسبح في البحر لأن أبحث عن لؤلؤة و لما سبحتها و جدت شيئا يلمع عيني و
فكرتي ألا هو الذي أرجوه طول الوقت, و هي أنت, فهل ممكن أخذها أيها
الفوزة؟؟؟
رسالتي لا يحتاج إلى الجواب و إنما ودك يفوق الجواب
إني أنتظرك ثلاثة أيام يا أختي, فإن لم أجد فيها من رسالة , فدعنى أكن صاحبا لك
مع الود
Tidak
lupa dia membubuhkan kata-kata sulit di baris terakhir surat itu, dan
garis-garis merah pun mulai terlihat di retina matanya.
Kabut pagi
begitu tebal menyelimuti Pesantren Al-Islah, tampak seorang santri kelas
dua tergopoh-gopoh mendapat panggilan dari kakak kelasnya.
“Dar,
sssstt tolong, kamu baca ini, coba ada kalimat yang tidak kau pahami
gak?? Jangan kau beritahu pada siapapun ya, Awas lho” Udin mendekap
santri kecil itu dan membuka kertas biru tua di depan matanya.
“Hhhmmm, aku dah cukup paham kok kak” Jawab mata Sudar dengan leher yang masih terbelit handuk.
“Ya udah kalo gitu, syukron ya, la tukhbir ilal akhor”
“Na’am kak” Sudar pun berlari menuju tempat antreannya yang ditinggalkan tadi.
***
“Rin” Terdengar Udin memanggil Rini, kali ini tatap matanya terlihat tajam memandangnya, takut kalau dia tidak memperhatikannya.
“Labbaik” Rini tersenyum menyambutnya, “Ada apa???”
“Rin,
ini kamu kasihkan ya, sampaikan maafku jika aku mengganggunya, sungguh
aku di tolak pun tidak mengapa, aku hanya ingin menghilangkan
kegelisahan yang selama ini menderaku” Udin menyerahkan lipatan kertas
hijau itu dalam lipatan buku, tangannya gemetar.
“Rin aku sangat berterimakasih padamu”
“Iya iya bos, tenang aja,, Insya Allah di tanganku semua aman, hehehehe”
“Iya Rin aku percaya kamu” jawab Udin menutup pembicaraan.
“teng-teng”
lonceng enam berbunyi tanda masuk kelas di mulai, para santri putra
maupun putri berhamburan menuju kelasnya masing-masing.
***
“ukti anti kanisah al yaum” teriak bagian kebersiahan padaku.
“Na’am ukhti, lahdhoh” Jawabku
Hari ini aku mendapat giliran menyiram bunga, kulihat ada timba besar
seukuran badanku disamping kamar mandi, kuambil saja tanpa banyak alasan
dan mengisinya dengan air.
“Akhirnya selesai juga” kataku lega, sambil sambil menaruh timba besar melelahkan itu di tempat semula.
“Ukhti Fauzaaaaaaaaahhhh” tiba-tiba ada yang memanggilku.
“Hmmmmm Ukhti Ririn, ada apa ya??” gumamku dalam hati.
Tiba-tiba ukhti Ririn mencubit pipiku dengan keras teriakan pun otomatis muncul dari mulutku.
“Aaaaaaaaaaaaaaaiiiiiiiiiii,maridh ti, Ukhti siriroh jiddan” kataku judes.
Ukhti Ririn, aku sekampung dengannya, selain aku sangat akrab
dengannya, aku sering mengeluh tentang keberadaanku di pesantren ini,
kadang nggak krasan, kadang pula aku mengadu tentang teman-temanku.
“Ukhti, ada apa??” Tanyaku, penasaran.
“Ini
Ukhti ada titipan dari temanku” Deg! Jantungku berdegup, “Temanku”
kata itu terulang di benakku, aku terhenyak tidak percaya, aku melihat
Ukhti Ririn menggenggam secarik kertas berwarna biru langit, di ulurkan
kertas itu padaku.
“Iqro’i fil hammam, stumma ithrohi mubasyaroh ya”
ukhti Ririn berbisik di telingaku sambil tangannya meraih tangan
kananku, dan menyerahkan kertas biru langit itu padaku. Aku masih tetap
hanyut dalam gundah.
***
Jam menunjukkan pukul sembilan, aku
mengajak Ida untuk membaca surat itu di kamar mandi. Suasana lembab
kamar mandi tak membuat hatiku sejuk, penuhnya bak mandi tak membuatku
tenang seperti tadi pagisaat aku mandi, kubuka surat itu perlahan aku
baca baris demi baris sambil mengernyitkan dahiku, kulihat dibagian
bawah surat itu mufrodat sho’bah, membantuku memahami lebih dalam surat
itu, tanganku bergetar, tanpa sadar aku menutup mulut dengan tangan
kananku, tak sepatah katapun yang keluar dari bibir Ida, matanya
terlihat serius membaca tulisan itu.
“Ukti..... kaifa??” Tanyaku bingung pada Ida.
“La masyi’ti to Ukh, kalau anti mau ya diterima kalau tidak ya udah??” Jawabnya.
“Ana akhof ukhti...” jawabku makinbimbang.
“Ithrohi!
Kholas!” Aku menyobek-nyobek kertas kecil itu hingga tak terbaca satu
huruf pun dari surat itu, kutabur di selokan kemudian kusiram dengan
air, “Hhhhhhhfffff” kataku lega.
BERSAMBUNG
0 Komentar