Kabut Pagi di Ufuk timur 2

Burung gereja terlihat menyelip di antara atap masjid segi empat saat aku keluar dari ruang kelasku, dinding kaca yang kokoh mengelilingi masjid bercat putih itu memantulkan seragam putih biru yang aku pakai, tak begitu menyilaukan karena terhalangi oleh triplek penyekat dua kelas yang ada di samping kiri dan kanan masjid. Para santri masih terlihat ramai saat aku berjalan di sebelah utaranya, sebagian ada yang ramai dan mengobrol di sekitar masjid itu sebagian ada yang tidur di bangku, panas menyengat membuatku mengangkat buku-buku tebalku di atas kepalaku. Bayanganku masih terlihat di kaca dan masih tetap senyum menghiasi wajahku saat melihat bayangan itu


“hmmmmmmm. masih seperti dulu” bisikku dalam hati. Sepintas aku bersisipan Udin, kakak kelasku yang sudah duduk di bangku kelas empat atau satu Aliah, teman-temannya sering mak comblangi aku dengannya, tapi aku tetap berjalan seperti biasa tapi kadang ku merasa risih dengan kata-kata temanku, sekejap aku menatap matanya, tapi entah mengapa kornea mataku langsung berpaling saat aku juga tau dia menatapku, aneh hanya aneh yang kurasa, Ida yang bersamaku sejak tadi hanya berkata, “dzalik lho al-insan ukti dzalik lho” berkali-kali, aku hanya berkata “na’am-na’am” sambil mengerlingkan mataku.
Semua temanku terlihat mendukungku bila ku bersamanya, tapi hatiku tak bisa berbohong, aku tak punya perasaan apapun padanya.
Ayu teman sekelas Udin datang tergagap mendatangiku tetapi senyum tetap menghiasi wajah imutnya, hingga saat ini aku belum bisa membedakan kapan dia bersedih dan kapan dia berbahagia, wajah Ayu tetap sama, “Benar-benar hebat menyembunyikan muka” aku menatapnya lebih dalam. Dengan cepat dia menyergapku dan menggelitikku sampai ku tertawa lepas, dia tertawa merayakan kemenangannya.
“Eh Ukhti Limadza to ukhti, anti la turid ma’a shohibi? Huwa jamil, mahir, wa ghoiru dzalik, madza an-nuqshon??” Kata Ayu tiba-tiba dengan logat bahasa Jawa yang masih sangat kental di bibirnya, aku hanya tersenyum dalam hati karena dia masih kakak kelasku yang juga sering mengajariku mengerjakan PR.
“Ana La adri” aku menggelengkan kepala.
“Almuhim ana la adri” makin cepat aku menggelengkan kepalaku ke arahnya.
“Ya kholas ukhti, intabihi laut tandam lho hehehe” Ayu tersenyum kepadaku, tapi aku bersyukur tak ada rasa jengkel nampak di hatinya.
Malam dingin tak terlalu terasa, karena aku bergerumul di antara teman-temanku.
“Bismikallahumma ahya wa bismika amut” teriak para santri putri memecah kesunyian. Aku hanya tersenyum saja mendengar suaraku juga suara teman-temanku sendiri.

***

Malam ini bulan tertutup mendung yang amat tebal, “kreeeeeek” terdengar suara derit pintu terbuka, satu orang santri belum tertidur hingga larut malam, ada kertas kosong berwarna biru terlipat di tangannya, mencari-cari sesuatu di atas deretan almari-almari kayu, satu persatu dicarinya.
“Ihhh kemana sih pulpen, masak anak satu pondok nggak ada yang punya pulpen” Udin bergumam sambil mengintip di bawah almari, kemudian memasukkan tangan kanannya untuk meraih pena pilot warna hitam tersebut.
“Yes, ana ajid” Udin tersenyum sukses, kemudian membawa pulpen tersebut menghilang dalam kamar sebelah.
“akhirnya, ada satu anak pondok yang punya pen” Udin terbahak dalam hati.
Mata Udin menerawang melihat kertas surat kosong bewarna biru muda tersebut, matanya masih putih bersih, belum tampak bercak merah di retinanya. Terlihat penanya mulai menggores kertas tersebut. Kemudian menulis kata-kata dalam bahasa Arab.

السلام عليك يا العزيزة, عفوا أوسوسك بحضور هذه الرسالة, عسى الله أن يملئ قلبك بالفوزة العظيمة
كأنني الآن أسبح في البحر لأن أبحث عن لؤلؤة و لما سبحتها و جدت شيئا يلمع عيني و فكرتي ألا هو الذي أرجوه طول الوقت, و هي أنت, فهل ممكن أخذها أيها الفوزة؟؟؟
رسالتي لا يحتاج إلى الجواب و إنما ودك يفوق الجواب
إني أنتظرك ثلاثة أيام يا أختي, فإن لم أجد فيها من رسالة , فدعنى أكن صاحبا لك

مع الود


Tidak lupa dia membubuhkan kata-kata sulit di baris terakhir surat itu, dan garis-garis merah pun mulai terlihat di retina matanya.
Kabut pagi begitu tebal menyelimuti Pesantren Al-Islah, tampak seorang santri kelas dua tergopoh-gopoh mendapat panggilan dari kakak kelasnya.
“Dar, sssstt tolong, kamu baca ini, coba ada kalimat yang tidak kau pahami gak?? Jangan kau beritahu pada siapapun ya, Awas lho” Udin mendekap santri kecil itu dan membuka kertas biru tua di depan matanya.
“Hhhmmm, aku dah cukup paham kok kak” Jawab mata Sudar dengan leher yang masih terbelit handuk.
“Ya udah kalo gitu, syukron ya, la tukhbir ilal akhor”
“Na’am kak” Sudar pun berlari menuju tempat antreannya yang ditinggalkan tadi.

***

“Rin” Terdengar Udin memanggil Rini, kali ini tatap matanya terlihat tajam memandangnya, takut kalau dia tidak memperhatikannya.
“Labbaik” Rini tersenyum menyambutnya, “Ada apa???”
“Rin, ini kamu kasihkan ya, sampaikan maafku jika aku mengganggunya, sungguh aku di tolak pun tidak mengapa, aku hanya ingin menghilangkan kegelisahan yang selama ini menderaku” Udin menyerahkan lipatan kertas hijau itu dalam lipatan buku, tangannya gemetar.
“Rin aku sangat berterimakasih padamu”
“Iya iya bos, tenang aja,, Insya Allah di tanganku semua aman, hehehehe”
“Iya Rin aku percaya kamu” jawab Udin menutup pembicaraan.
“teng-teng” lonceng enam berbunyi tanda masuk kelas di mulai, para santri putra maupun putri berhamburan menuju kelasnya masing-masing.

***

“ukti anti kanisah al yaum” teriak bagian kebersiahan padaku.
“Na’am ukhti, lahdhoh” Jawabku
Hari ini aku mendapat giliran menyiram bunga, kulihat ada timba besar seukuran badanku disamping kamar mandi, kuambil saja tanpa banyak alasan dan mengisinya dengan air.
“Akhirnya selesai juga” kataku lega, sambil sambil menaruh timba besar melelahkan itu di tempat semula.
“Ukhti Fauzaaaaaaaaahhhh” tiba-tiba ada yang memanggilku.
“Hmmmmm Ukhti Ririn, ada apa ya??” gumamku dalam hati.
Tiba-tiba ukhti Ririn mencubit pipiku dengan keras teriakan pun otomatis muncul dari mulutku.
“Aaaaaaaaaaaaaaaiiiiiiiiiii,maridh ti, Ukhti siriroh jiddan” kataku judes.
Ukhti Ririn, aku sekampung dengannya, selain aku sangat akrab dengannya, aku sering mengeluh tentang keberadaanku di pesantren ini, kadang nggak krasan, kadang pula aku mengadu tentang teman-temanku.
“Ukhti, ada apa??” Tanyaku, penasaran.
“Ini Ukhti ada titipan dari temanku” Deg! Jantungku berdegup, “Temanku” kata itu terulang di benakku, aku terhenyak tidak percaya, aku melihat Ukhti Ririn menggenggam secarik kertas berwarna biru langit, di ulurkan kertas itu padaku.
“Iqro’i fil hammam, stumma ithrohi mubasyaroh ya” ukhti Ririn berbisik di telingaku sambil tangannya meraih tangan kananku, dan menyerahkan kertas biru langit itu padaku. Aku masih tetap hanyut dalam gundah.

***
Jam menunjukkan pukul sembilan, aku mengajak Ida untuk membaca surat itu di kamar mandi. Suasana lembab kamar mandi tak membuat hatiku sejuk, penuhnya bak mandi tak membuatku tenang seperti tadi pagisaat aku mandi, kubuka surat itu perlahan aku baca baris demi baris sambil mengernyitkan dahiku, kulihat dibagian bawah surat itu mufrodat sho’bah, membantuku memahami lebih dalam surat itu, tanganku bergetar, tanpa sadar aku menutup mulut dengan tangan kananku, tak sepatah katapun yang keluar dari bibir Ida, matanya terlihat serius membaca tulisan itu.
“Ukti..... kaifa??” Tanyaku bingung pada Ida.
“La masyi’ti to Ukh, kalau anti mau ya diterima kalau tidak ya udah??” Jawabnya.
“Ana akhof ukhti...” jawabku makinbimbang.
“Ithrohi! Kholas!” Aku menyobek-nyobek kertas kecil itu hingga tak terbaca satu huruf pun dari surat itu, kutabur di selokan kemudian kusiram dengan air, “Hhhhhhhfffff” kataku lega.

BERSAMBUNG

Posting Komentar

0 Komentar