Kabut Pagi di Ufuk Timur 3

Pukul 23.30 santri putri tertata berjajar rapi seperti barisan ikan pindang pada besek pring, mata mereka terlihat sayu, lelah dengan kegiatan pondok yang begitu padat, kedua metaku yang masih kelap-kelip masih belum menunjukkan benang merah di retina mata kanan dan kiriku. Buku diari hijau dengan halaman bergambar Winny The Pooh masih kubuka, sejenak kulihat kanan dan kiri tak ada siapapun “hhhmmmm aman” aku merasa lega. Perlahan mata pena yang kupegang mendekat, dan melukai kertas itu dengan meninggalkan bekas. “to my brother” ku awali dengan bahasa Inggris dengan harapan aku dapat mengimbangi surat bahasa Arabnya, tapi agaknya sulit aku lanjutkan, aku coret dan aku mengganti bahasaku dengan bahasa Indonesia.


Assalamualaikum,
Mohon maaf jika balasan suratku ini datang lebih awal dari yang kamu harapkan, dengan harapan, lebih awl pula kegelisahan yang kamu rasakan menghilang, maafkan aku, rasa kamu itu wajar, tidak ada yang bersalah di antara kita, kak, maafkan aku, tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Aku harap kamu mengerti dan tidak menganggap aku musuh karena semua ini maafkan aku.
“cukup” kataku dalam hati, aku robek kertas dari diari itu dan bersiap aku titipkan ke ukhti Ririn. Terlihat lampu tiap kamar padam, aku mengendap menuju kamar di ujung paling selatan, terpaku di atas pintu kamar itu “Khadijah Room” terlihat muram karena tak tersinari oleh lampu. Aku membangunkan Ukhti Ririn yang lelap tertidur.
“Ukhti, ukhti, ukhti” aku menggoyang-goyang tubuhnya.
“Ini ukhti ana titip”
“Gimana Zah, maqbul am mardud??” tanyanya ingin tahu.
“Afwan ukhti, yang kedua” Ukhti Ririn agak terbangun mendengar jawabanku.
***
“Din, ini darinya, sebenarnya aku yakin dia mau tapi mungkin dia takut dan malu” Udin mengangguk mendengar penjelasan Ririn.
“Gak papa Rin, aku sudah lega dia mau membalas suratku” udin murung.
“halah kamu, percayalah pasti Allah udah nyiapin jodoh buat kamu” Ririn menasihatiku.

Enam bulan kemudian

Gemuruh lagu Indonesia Raya berkumandang, suasana ramai dan umpel-umpelan tampak jelas di aula, kebetulan aku duduk paling belakang sehingga dapat kulihat ramainya para santri baik putra maupun putri yang terpisah oleh sekat triplek memanjang dari belakang hingga kedepan sampai panggung, di bakcground panggung terdapat tulisan “SERAH TERIMA JABATAN DAN PELANTIKAN ORGANISASI INTRA SEKOLAH PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH” telihat indah dihiasi dengan berbagai bunga dan seni dekorasi di background berwarna biru tua tersebut menambah hikmat acara yang diselenggarakan setiap tahun ini, tanpa sengaja, aku melihat Kak Udin di atas panggung bersama rekan-rekannya berjajar saling berpegangan tangan, di ujung selatan, terdapat senior yang memegang Alquran meletakkannya di atas kepalanya, para santri serempak diam membisu mendengarkan sumpah yang di bacakan Bapak Pengasuh.
Hari-demi hari aku lalui seperti biasa, aku dan kak Udin masih jadi word of the mouth di telingaku, sampai aku bosan dan bosan. Bahkan membuat pusing kepalaku.
“Ukhti aku sampaikan salam ke Udin ya?” Tanya Ayu, dia sudah membawa kitab-kitab pagi-pagi sekali.
“Na’am” Aku menarik nafas panjang berharap dia lega dan tak menimbulkan apapun setelah itu.
***
Udin melangkah menaiki tangga masjid itu, dia melihat wajah ayu begitu santai sambil mengayunkan gagang sapunya, dia piket hari ini.
“Din shobahul khair” aku mengerling padanya.
“Shobahunnur, din dapat salam” Pandangan matanya beralih padaku.
“Dari siapa???”
“Fauzah”
“Yang bener Yu” Aku belum percaya mendengarnya
“Wallahi Din, untuk apa sih aku bohong”.
Langit hari ini semakin bercahaya di mata Udin, bunga bunga layu pun seakan bermekaran, menyambut berseminya hati yang telah padam selama enam bulan. Bukan penantian yang sebentar menurutnya. Apa lagi sikap Fauzah yang sering malu jika di hadapannya menambah hidup Udin semakin terang.
Lama berselang, perasaan itu kembali menyusuri hati Udin, salam itu menyusup hatinya melewati pori-pori kulitnya. Setiap Udin makan di kelas samping asrama putri itu hanya suara dan tawa Fauzah yang didengarnya seakan seluruh huruf yang ada di papan tulis dan bukunya berganti hanya 6 huruf f-a-u-z-a-h, semakin lama Udin tak dapat menahan perasaan itu dan menuntut Udin untuk kembali melesatkan anak panahnya, diraihnya sepotong kertas SIDU yang ada dihadapkannya, pena mulai menari di tangannya.
Assalamu’alaikum
Tahukah engkau,
Aku bagaikan seseorang yang hampir tenggelam saat ini
Hanya tanganku yang terlihat melambai-lambai
Samar aku melihat wajahmu di tepian
Dan aku yakin itu kamu zah...
Aku gelisah, bingung tanpa arah
Maukah engkau mengulurkan tanganmu sekali lagi
Untuk menolongku dari sakitku ini
Wassalam alaikum
“Teng teng teng”
Udin melipat kertas itu dan diam sejenak menunggu para santri memasuki kelas masing-masing, secepat kilat Udin mendekati jendela di dekat Fauzah duduk.
“Da, tolong sampaikan ini ke teman sebangkumu” Udin mengulurkan tangannya menerobos jendela tersebut.
“Na’am” ida menyahut.
***
Malam semakin gelap, teman-temanku sudah terlelap, sajadah yang terhampar masih menunjukkan kesabarannya menemaniku berdoa di depan Sang Khaliq, hatiku bergetar, potongan kertas SIDU yang di berikan Udin padaku masih membekas di pelupuk mataku.
“Ya Allah apa yang harus ku lakukan??? Apakah aku akan menyakiti hati hambamu ya Allah?? Ataukah egoku yang aku utamakan, ya Allah Engkaulah penciptaku engkau juga Melindungku tunjukkan aku jalan-Mu ya Allah, kadang aku ingin membungkam mulut-mulut yang selama ini mengiang keras di telingaku, aku ingin hidup damai, tenang tanpa masalah cinta ”
My Brother
Ketika aku melihatmu hampir tenggelam
Aku tak sanggup lagi melihatmu seperti itu
Hilangkan sedih dan gelisahmu
Aku tlah ulurkan tanganku untuk dirimu
Kubaca lagi apa yang telah aku tulis kemudian hatiku mantab dengannya, mataku pun mulai menutup, “semoga aku baik-baik saja” kataku berharap.
Hari ini 29 Maret, aku melihat senyum Kak Udin melebar, aku lega dia tidak menuntut apa-apa dariku setelah itu. Hanya aku tidak pernah mengucap kata “sayang” untuknya, aku tak mau berbohong pada diriku. Kucari jalan setapak menghindar darinya saat aku akan berpapasan dengannya, karena aku malu, tiga kali dia melayangkan surat untukku hanya ingin berkata.
“Apakah kau sungguh-sunngguh mau denganku????” Tulisnya.
“Kalau aku sudah bilang ‘ya’ berarti ‘ya’” Jawabku, semoga membuat dia lega.
Sempat aku kagum pada sikapnya yang begitu sabar menerima perlakuanku, dia ulang tahun pun aku hanya diam, aku begitu takut pada bagian keamanan aku tidak mau membayar semen dua sak dan meminta tanda tangan pada seluruh Ustad dan Ustadah. Selamat pun tak keluar dari mulutku saat itu, “Semoga dia mengerti” harapku.
Sebulan berlalu, hari ini Ulahku, aku banyak menerima berbagai Suvenir dari teman-temanku.
“Ukhti Fauzahhhhh” Ida memanggil....

Posting Komentar

0 Komentar