Pukul 23.30 santri putri tertata berjajar rapi seperti barisan ikan
pindang pada besek pring, mata mereka terlihat sayu, lelah dengan
kegiatan pondok yang begitu padat, kedua metaku yang masih kelap-kelip
masih belum menunjukkan benang merah di retina mata kanan dan kiriku.
Buku diari hijau dengan halaman bergambar Winny The Pooh masih kubuka,
sejenak kulihat kanan dan kiri tak ada siapapun “hhhmmmm aman” aku
merasa lega. Perlahan mata pena yang kupegang mendekat, dan melukai
kertas itu dengan meninggalkan bekas. “to my brother” ku awali dengan
bahasa Inggris dengan harapan aku dapat mengimbangi surat bahasa
Arabnya, tapi agaknya sulit aku lanjutkan, aku coret dan aku mengganti
bahasaku dengan bahasa Indonesia.
Assalamualaikum,
Mohon maaf
jika balasan suratku ini datang lebih awal dari yang kamu harapkan,
dengan harapan, lebih awl pula kegelisahan yang kamu rasakan menghilang,
maafkan aku, rasa kamu itu wajar, tidak ada yang bersalah di antara
kita, kak, maafkan aku, tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Aku harap
kamu mengerti dan tidak menganggap aku musuh karena semua ini maafkan
aku.
“cukup” kataku dalam hati, aku robek kertas dari diari itu dan
bersiap aku titipkan ke ukhti Ririn. Terlihat lampu tiap kamar padam,
aku mengendap menuju kamar di ujung paling selatan, terpaku di atas
pintu kamar itu “Khadijah Room” terlihat muram karena tak tersinari oleh
lampu. Aku membangunkan Ukhti Ririn yang lelap tertidur.
“Ukhti, ukhti, ukhti” aku menggoyang-goyang tubuhnya.
“Ini ukhti ana titip”
“Gimana Zah, maqbul am mardud??” tanyanya ingin tahu.
“Afwan ukhti, yang kedua” Ukhti Ririn agak terbangun mendengar jawabanku.
***
“Din, ini darinya, sebenarnya aku yakin dia mau tapi mungkin dia takut dan malu” Udin mengangguk mendengar penjelasan Ririn.
“Gak papa Rin, aku sudah lega dia mau membalas suratku” udin murung.
“halah kamu, percayalah pasti Allah udah nyiapin jodoh buat kamu” Ririn menasihatiku.
Enam bulan kemudian
Gemuruh
lagu Indonesia Raya berkumandang, suasana ramai dan umpel-umpelan
tampak jelas di aula, kebetulan aku duduk paling belakang sehingga dapat
kulihat ramainya para santri baik putra maupun putri yang terpisah
oleh sekat triplek memanjang dari belakang hingga kedepan sampai
panggung, di bakcground panggung terdapat tulisan “SERAH TERIMA JABATAN
DAN PELANTIKAN ORGANISASI INTRA SEKOLAH PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH”
telihat indah dihiasi dengan berbagai bunga dan seni dekorasi di
background berwarna biru tua tersebut menambah hikmat acara yang
diselenggarakan setiap tahun ini, tanpa sengaja, aku melihat Kak Udin di
atas panggung bersama rekan-rekannya berjajar saling berpegangan
tangan, di ujung selatan, terdapat senior yang memegang Alquran
meletakkannya di atas kepalanya, para santri serempak diam membisu
mendengarkan sumpah yang di bacakan Bapak Pengasuh.
Hari-demi hari
aku lalui seperti biasa, aku dan kak Udin masih jadi word of the mouth
di telingaku, sampai aku bosan dan bosan. Bahkan membuat pusing
kepalaku.
“Ukhti aku sampaikan salam ke Udin ya?” Tanya Ayu, dia sudah membawa kitab-kitab pagi-pagi sekali.
“Na’am” Aku menarik nafas panjang berharap dia lega dan tak menimbulkan apapun setelah itu.
***
Udin
melangkah menaiki tangga masjid itu, dia melihat wajah ayu begitu
santai sambil mengayunkan gagang sapunya, dia piket hari ini.
“Din shobahul khair” aku mengerling padanya.
“Shobahunnur, din dapat salam” Pandangan matanya beralih padaku.
“Dari siapa???”
“Fauzah”
“Yang bener Yu” Aku belum percaya mendengarnya
“Wallahi Din, untuk apa sih aku bohong”.
Langit
hari ini semakin bercahaya di mata Udin, bunga bunga layu pun seakan
bermekaran, menyambut berseminya hati yang telah padam selama enam
bulan. Bukan penantian yang sebentar menurutnya. Apa lagi sikap Fauzah
yang sering malu jika di hadapannya menambah hidup Udin semakin terang.
Lama
berselang, perasaan itu kembali menyusuri hati Udin, salam itu menyusup
hatinya melewati pori-pori kulitnya. Setiap Udin makan di kelas samping
asrama putri itu hanya suara dan tawa Fauzah yang didengarnya seakan
seluruh huruf yang ada di papan tulis dan bukunya berganti hanya 6 huruf
f-a-u-z-a-h, semakin lama Udin tak dapat menahan perasaan itu dan
menuntut Udin untuk kembali melesatkan anak panahnya, diraihnya sepotong
kertas SIDU yang ada dihadapkannya, pena mulai menari di tangannya.
Assalamu’alaikum
Tahukah engkau,
Aku bagaikan seseorang yang hampir tenggelam saat ini
Hanya tanganku yang terlihat melambai-lambai
Samar aku melihat wajahmu di tepian
Dan aku yakin itu kamu zah...
Aku gelisah, bingung tanpa arah
Maukah engkau mengulurkan tanganmu sekali lagi
Untuk menolongku dari sakitku ini
Wassalam alaikum
“Teng teng teng”
Udin
melipat kertas itu dan diam sejenak menunggu para santri memasuki kelas
masing-masing, secepat kilat Udin mendekati jendela di dekat Fauzah
duduk.
“Da, tolong sampaikan ini ke teman sebangkumu” Udin mengulurkan tangannya menerobos jendela tersebut.
“Na’am” ida menyahut.
***
Malam semakin gelap, teman-temanku sudah terlelap, sajadah yang
terhampar masih menunjukkan kesabarannya menemaniku berdoa di depan Sang
Khaliq, hatiku bergetar, potongan kertas SIDU yang di berikan Udin
padaku masih membekas di pelupuk mataku.
“Ya Allah apa yang harus ku
lakukan??? Apakah aku akan menyakiti hati hambamu ya Allah?? Ataukah
egoku yang aku utamakan, ya Allah Engkaulah penciptaku engkau juga
Melindungku tunjukkan aku jalan-Mu ya Allah, kadang aku ingin membungkam
mulut-mulut yang selama ini mengiang keras di telingaku, aku ingin
hidup damai, tenang tanpa masalah cinta ”
My Brother
Ketika aku melihatmu hampir tenggelam
Aku tak sanggup lagi melihatmu seperti itu
Hilangkan sedih dan gelisahmu
Aku tlah ulurkan tanganku untuk dirimu
Kubaca
lagi apa yang telah aku tulis kemudian hatiku mantab dengannya, mataku
pun mulai menutup, “semoga aku baik-baik saja” kataku berharap.
Hari
ini 29 Maret, aku melihat senyum Kak Udin melebar, aku lega dia tidak
menuntut apa-apa dariku setelah itu. Hanya aku tidak pernah mengucap
kata “sayang” untuknya, aku tak mau berbohong pada diriku. Kucari jalan
setapak menghindar darinya saat aku akan berpapasan dengannya, karena
aku malu, tiga kali dia melayangkan surat untukku hanya ingin berkata.
“Apakah kau sungguh-sunngguh mau denganku????” Tulisnya.
“Kalau aku sudah bilang ‘ya’ berarti ‘ya’” Jawabku, semoga membuat dia lega.
Sempat
aku kagum pada sikapnya yang begitu sabar menerima perlakuanku, dia
ulang tahun pun aku hanya diam, aku begitu takut pada bagian keamanan
aku tidak mau membayar semen dua sak dan meminta tanda tangan pada
seluruh Ustad dan Ustadah. Selamat pun tak keluar dari mulutku saat itu,
“Semoga dia mengerti” harapku.
Sebulan berlalu, hari ini Ulahku, aku banyak menerima berbagai Suvenir dari teman-temanku.
“Ukhti Fauzahhhhh” Ida memanggil....
0 Komentar