Kabut Pagi di Ufuk Timur 4 (-habis)

“madza ukhti??” tanyaku penasaran.
“ini ada sesuatu untukmu” Ida mengulurkan tangannya dengan buku diary biru yang kelihatannya baru dia beli dari toko Zaini.
“Syukron katsiiiiiiiiir ukhti, anti memang temanku yang paling baik” pujiku sambil menatap matanya.


Bulan purnama tersenyum hari ini, sinarnya menyingkap kegelapan yang menyelimuti lingkungan pesantren. Terlihat indah ketika aku lihat “Romantis” komentarku dalam hati. Tiba-tiba aku terjaga dari lamunanku. Ukhti Ririn datang dengan membawa bungkus kresek di tangannya.
“Met ultah Zah….” Sapanya sambil tersenyum dan memberikan tas kresek warna hitam yang memantulkan sinar rembulan malam itu.
“Apa ni Ti???” mataku menatap Ukhti Ririn berharap jawaban segera darinya.
“Ni dari dia, temanku” Jawabnya.
“Nggak, ana la urid ukhti, ana akhof” keras aku menjawab hingga terdengar hampir seperempat asrama putri.
“Ssstt, tamahhal ukhti, segera bawa dan buka ini kemudian anti tau sendirikan??”
“Afwan na’am ukhti” ku menoleh kanan kiri, keadaan masih sepi seperti saat aku melamun tadi. Ukhti Ririn pun pergi dan menghilang ditelan
Aku menatap jam dinding, jarum jam menunjuk tepat ke arah atas, jam dua belas. Pelan aku bungkusan kado warna kuning agar tak menimbulkan suara, kulihat kanan kiri semua santri putri masih terlelap dan belum ada tanda-tanda kehidupan. Sebuah binder warna biru, tersisip di covernya fotoku saat aku menjadi anggota Paduan Suara waktu perpisahan tahun lalu, “Dari mana kak Udin mendapatkannya??” kataku terheran-heran.
****
Bel berbunyi waktunya ganti pelajaran, “Waktunya Ust. Hasyim” kata Udin sambil melirik rak bangkunya, mengecek apakah buku materi Ust. Hasyim ketinggalan atau tidak. “Alhamdulillah” aku membawanya. Pelajaran pun dimulai, ust. Hasyim pun masuk kelas dengan mengucap salam. Teman Udin yang tertidur pun tiba-tiba bangun karena takut. Ust Hasyim memmulai pelajaran
“Anak-anak tirukan sama-sama” ucap Ust Hasyim tiba-tiba.
“Tawahhamtu an tus’idiini wal awhaamu kaadzibatun @ falaa nashiiba lisa’aadatin alaa maa badaa fiihaa”
“Uriidu an ashna’a laki kulla mu’jizatin @ wa afrohu biki waddunya wa maa fiihaa”
“walaakin maa hashola minki qod tadammaro aathifatan @ hanuunatan tasytahii tahqiiqo amaalilhaa”
“wa shobartu ‘ala qohrin wal ayyaamu syaahidatun @ ‘alaa maa hashola min tu’aasatin min rowaabiha”
“Masyaitu fishokhroo’ ‘alaa ghoiri ‘aadatin @ tajaarohat aqdaamii min shohaariihaa”
“falaa tattabi’il wahma fal-auhaamu khoodi’atun @ laa tankhodi’u bisshohari qod tatiihu fiihaa”
Tersangal sengal Udin dan teman-temannya menirukan beliau tapi beliau masih belum menunjukkan kelelahannya. Ust. Hasyim kemudian menerjemahkan bait tersebut, Udin pun terhenyak, entah merasa tersindir atau apapun, Udin jelas merasa bait itu untuk dirinya.
“Aku berprasangka, kau akan membahagiakan aku, tetapi ternyata prasangka itu hanya bohong belaka. Bahkan aku tak merasakan kebahagiaan sama sekali” kata Beliau menjelaskan baaris pertama.
“Aku ingin membuat keajaiban untukmu dan bahagia denganmu dengan dunia serta isinya”
Akan tetapi, apa yang kamu perbuat telah menghancurkan sedikit demi sedikit, meruntuhkan semua cita-citaku”
“Aku mencoba bersabar dengan kuat, dan hari-hari menjadi saksi kesabaranku acas cobaan yang menderaku saat ini”
“Aku berjalan di padang pasir, sampai kedua kakiku cidera”
“Maka dari itu janganlah mengikuti prasangka, prasangka itu Cuma bohong belaka, dan jangan tertipu dengan keindahan padang pasir, kamu akan berkeluh kesah karenanya” Ucap Ust. Hasyim bersahaja, Udin terheran-heran tak ada angin apapun tiba-tiba Ust. Hasyim menjelaskan tentang cinta, “Apa arti ini semua???” Udin berbisik dalam hati. Mendung tampak begitu jelas menaungi mata Udin, pelan butiran air mulai terlihat disudut mata Udin.
“apa yang telah aku dapatkan dengannya selama ini?? Bahagiakah aku?? Tersiksakah aku mengapa perasaanku seakan tak terbalas?? Fauzah haruskah aku meninggalkanmu?? Apakah aku dapat melupakanmu??” Udin merintih dalam hati, kepalanya tertunduk menempel di atas bangku.
***
Keadaan masjid begitu sepi malam itu, tak ada tanda-tanda kehidupan yang tampak, hanya tampak kerumunan para santri membeli bakso di depan masjid. Udin mulai menggelar sajadah merah favoritnya dan memulai dalam keheningan, takbiirotul ihrom. Udin tenggelam dalam tangis, tenggelam dalam kebingungan apa yang hendak diperbuatnya kemudian.
***
Kabut pagi ini begitu tebal menyelimuti pesantren, menambah hawa dingin yang kami rasakan, kami bagaikan perokok saat ini, karena setiap kami bernafas asap seakan mengepul dari hidung dan bibir kami, “kayak di luar negeri aja” kataku, yang tiba-tiba dikejutkan uluran tangan kak Ririn dengan kertas putih di tangannya. Aku kaget sesaat dan kubuka kertas itu di kamar mandi.
Zah... maafkan aku karena mengganggu belajarmu. Datangnya surat ini hanya untuk mengabarkan aku sudah tidak kuat lagi menjalani semua ini, sengaja aku ingin bersamamu untuk mengurang beban yang ada di pundakmu, aku angin berbagi denganmu akan tetapi, malah derita yang ku rasa. Cukup di sini saja perjalananku denganmu, aku berterima kasih dan takkan aku sesali pertemuanku denganmu
Aku lemas membaca suratnya, rasa bersalah juga rasa lega berlomba menguasai perasaanku, “benarkah ini yang ditulisnya” gumamku, hawa pagi semakin menghangat, aku m=berjalan raih menuju kamar, merubuhkan badanku di atas spon tipis itu, ku raih potongan kertas sidu dari sakuku, ku baca, isinya tetap sama. Dia ingi berpisah denganku. Mataku mulai mendung, tetesan bening dari pojok mataku pun mulai menetes.
Apakah aku harus berpisah darinya???
****
Suasana kelas begitu ramai tetapi tak seramai hati Udin yang telah memutuskan suatu perkara yan amat tak mudah baginya.
Melupakan Fauzah
Kerut kesusahan benar terlihat dari dahinya. Kepalanya tertunduk menatap lantai yang terbuat dari keramik putih itu.
“Din, Fauzah menangis semalam....” kata Ririn tiba-tiba.
“Ah masak Rin nggak mungkin ah aku nggak percaya” Udin berkata agak keras tapi ada rasa bahagia di hatinya. Bahagia dan rasa bersalah berhasil mencapai hati Udin. Udin mengangkat kepalanya dari bangku, tampak pipinya merah bekas aliran darah yang tercepit di kulitnya.
“ Udin, aku punya banyak saksi”
“hmmmmm ya udah Rin trimakasih atas informasinya” Udin hengkang keluar kelas mengambil air wudhu.
Pelajaran selanjutnya Alquran
Fikiran Udin mengambang entah ke alam mana, pelajaran Alquran lewat begitu saja, Udin membiarkan jiwanya tenggelam dalam lautan kebingungannya. Udin melamun....
“Udah Din coba anta minta maaf pasti dia mau lagi.....” Saran Ririn membangunkan dari tidurnya, tak terasa jam terakhir telah usai, panas matahari begitu terik membakar bumi. Tanah pun menyilaukan pantulan matahari.
“Begitukah Rin?? Aku dah nggak kuat lagi dengannya,??” Udin ngeyel
“Hiya ma zalat shoghiroh Din, ngerti dikit lah”
“ya udah Rin nanti aku fikirkan”
***
Pagi menjelang, Udi tergesa-gesa memasuki ruangan kelas, terlambat lima menit cukup untuk membuat coretan huruf “ghoin” di buku absen, Udin tidak mau lagi nilai absennya mempengaruhi nilai-nilai pelajarannya yang lain, “wah jam pertama Ust. Sus, bisa gawat kalau aku telat” Udin bergumam sambil membuka pintu kelas serta mengucap salam.
“SSttttt Rin Rin” Udin berbisik memanggil Ririn yang duduk dibelakangnya.
“Apa Din???”
“Nitip ini ya, pada Fauzah”
“owh O.K. boss lancar”
“Hmmmm” Udin tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada Ririn.
Malam begitu pekat tak membiarkan satu bintang pun berhasil menghiasi mata insan yang ada di Bumi, sinar rembulan hanya tampak meremang di balik awan hitam, Udin teringat dengan apa yang dituliskan pada Fauzah tadi pagi.
”Ukti, merupakan kesalahan terbesarku adalah kemarin ketika akau memutuskan erkaraini dengan berpisah denganmu, aku harap anti mengerti dengan keadaanku, aku putus asa tanpa kamu, jika pean kembali aku akan bersabar menerima apa adanya dari Ukhti, kumohon maafkanlah aku”
Udin menggegam surat balasan dari Fauzah, tangan itu terlihat dingin, di sertai urat nadi yang terlihat menonjol mengelilingi kulit sawo mentah itu. bergetar tangan membuka sarat itu pelan, mendung seakan ingin menurunkan semua isinya pada Bumi, ia perhatikan senti demi senti kertas sidu itu.
”kak Udin yang baik maafkan aku, aku punya cinta, cintaku bahagia, tapi itu bukan kamu”
Udin tersenyum membaca surat itu, senyum yang terlihat berat.
“Yang penting anti bahagia” Gumam Udin...
Malam berkabut di tambah dengan mendung menambah parah hawa dingin, para santri sudah terlelap dalam selimut sarungnya masing-masing, Udin masih duduk di depan asrama, kedua tangannya menopang tubuhnya agar tidak terlalu condong ke belakang, merenung dengan apa yang telah di perbuatnya

Posting Komentar

0 Komentar