“madza ukhti??” tanyaku penasaran. “ini ada sesuatu untukmu” Ida mengulurkan tangannya dengan buku diary biru yang kelihatannya baru dia beli dari toko Zaini. “Syukron katsiiiiiiiiir ukhti, anti memang temanku yang paling baik” pujiku sambil menatap matanya.
Bulan
purnama tersenyum hari ini, sinarnya menyingkap kegelapan yang
menyelimuti lingkungan pesantren. Terlihat indah ketika aku lihat
“Romantis” komentarku dalam hati. Tiba-tiba aku terjaga dari lamunanku.
Ukhti Ririn datang dengan membawa bungkus kresek di tangannya. “Met ultah Zah….” Sapanya sambil tersenyum dan memberikan tas kresek warna hitam yang memantulkan sinar rembulan malam itu. “Apa ni Ti???” mataku menatap Ukhti Ririn berharap jawaban segera darinya. “Ni dari dia, temanku” Jawabnya. “Nggak, ana la urid ukhti, ana akhof” keras aku menjawab hingga terdengar hampir seperempat asrama putri. “Ssstt, tamahhal ukhti, segera bawa dan buka ini kemudian anti tau sendirikan??” “Afwan
na’am ukhti” ku menoleh kanan kiri, keadaan masih sepi seperti saat aku
melamun tadi. Ukhti Ririn pun pergi dan menghilang ditelan Aku
menatap jam dinding, jarum jam menunjuk tepat ke arah atas, jam dua
belas. Pelan aku bungkusan kado warna kuning agar tak menimbulkan suara,
kulihat kanan kiri semua santri putri masih terlelap dan belum ada
tanda-tanda kehidupan. Sebuah binder warna biru, tersisip di covernya
fotoku saat aku menjadi anggota Paduan Suara waktu perpisahan tahun
lalu, “Dari mana kak Udin mendapatkannya??” kataku terheran-heran. **** Bel
berbunyi waktunya ganti pelajaran, “Waktunya Ust. Hasyim” kata Udin
sambil melirik rak bangkunya, mengecek apakah buku materi Ust. Hasyim
ketinggalan atau tidak. “Alhamdulillah” aku membawanya. Pelajaran pun
dimulai, ust. Hasyim pun masuk kelas dengan mengucap salam. Teman Udin
yang tertidur pun tiba-tiba bangun karena takut. Ust Hasyim memmulai
pelajaran “Anak-anak tirukan sama-sama” ucap Ust Hasyim tiba-tiba. “Tawahhamtu an tus’idiini wal awhaamu kaadzibatun @ falaa nashiiba lisa’aadatin alaa maa badaa fiihaa” “Uriidu an ashna’a laki kulla mu’jizatin @ wa afrohu biki waddunya wa maa fiihaa” “walaakin maa hashola minki qod tadammaro aathifatan @ hanuunatan tasytahii tahqiiqo amaalilhaa” “wa shobartu ‘ala qohrin wal ayyaamu syaahidatun @ ‘alaa maa hashola min tu’aasatin min rowaabiha” “Masyaitu fishokhroo’ ‘alaa ghoiri ‘aadatin @ tajaarohat aqdaamii min shohaariihaa” “falaa tattabi’il wahma fal-auhaamu khoodi’atun @ laa tankhodi’u bisshohari qod tatiihu fiihaa” Tersangal
sengal Udin dan teman-temannya menirukan beliau tapi beliau masih belum
menunjukkan kelelahannya. Ust. Hasyim kemudian menerjemahkan bait
tersebut, Udin pun terhenyak, entah merasa tersindir atau apapun, Udin
jelas merasa bait itu untuk dirinya. “Aku berprasangka, kau akan
membahagiakan aku, tetapi ternyata prasangka itu hanya bohong belaka.
Bahkan aku tak merasakan kebahagiaan sama sekali” kata Beliau
menjelaskan baaris pertama. “Aku ingin membuat keajaiban untukmu dan bahagia denganmu dengan dunia serta isinya” Akan tetapi, apa yang kamu perbuat telah menghancurkan sedikit demi sedikit, meruntuhkan semua cita-citaku” “Aku mencoba bersabar dengan kuat, dan hari-hari menjadi saksi kesabaranku acas cobaan yang menderaku saat ini” “Aku berjalan di padang pasir, sampai kedua kakiku cidera” “Maka
dari itu janganlah mengikuti prasangka, prasangka itu Cuma bohong
belaka, dan jangan tertipu dengan keindahan padang pasir, kamu akan
berkeluh kesah karenanya” Ucap Ust. Hasyim bersahaja, Udin
terheran-heran tak ada angin apapun tiba-tiba Ust. Hasyim menjelaskan
tentang cinta, “Apa arti ini semua???” Udin berbisik dalam hati. Mendung
tampak begitu jelas menaungi mata Udin, pelan butiran air mulai
terlihat disudut mata Udin. “apa yang telah aku dapatkan dengannya
selama ini?? Bahagiakah aku?? Tersiksakah aku mengapa perasaanku seakan
tak terbalas?? Fauzah haruskah aku meninggalkanmu?? Apakah aku dapat
melupakanmu??” Udin merintih dalam hati, kepalanya tertunduk menempel di
atas bangku. *** Keadaan masjid begitu sepi malam itu, tak ada
tanda-tanda kehidupan yang tampak, hanya tampak kerumunan para santri
membeli bakso di depan masjid. Udin mulai menggelar sajadah merah
favoritnya dan memulai dalam keheningan, takbiirotul ihrom. Udin
tenggelam dalam tangis, tenggelam dalam kebingungan apa yang hendak
diperbuatnya kemudian. *** Kabut pagi ini begitu tebal menyelimuti
pesantren, menambah hawa dingin yang kami rasakan, kami bagaikan
perokok saat ini, karena setiap kami bernafas asap seakan mengepul dari
hidung dan bibir kami, “kayak di luar negeri aja” kataku, yang tiba-tiba
dikejutkan uluran tangan kak Ririn dengan kertas putih di tangannya.
Aku kaget sesaat dan kubuka kertas itu di kamar mandi. Zah...
maafkan aku karena mengganggu belajarmu. Datangnya surat ini hanya untuk
mengabarkan aku sudah tidak kuat lagi menjalani semua ini, sengaja aku
ingin bersamamu untuk mengurang beban yang ada di pundakmu, aku angin
berbagi denganmu akan tetapi, malah derita yang ku rasa. Cukup di sini
saja perjalananku denganmu, aku berterima kasih dan takkan aku sesali
pertemuanku denganmu Aku lemas membaca suratnya, rasa bersalah
juga rasa lega berlomba menguasai perasaanku, “benarkah ini yang
ditulisnya” gumamku, hawa pagi semakin menghangat, aku m=berjalan raih
menuju kamar, merubuhkan badanku di atas spon tipis itu, ku raih
potongan kertas sidu dari sakuku, ku baca, isinya tetap sama. Dia ingi
berpisah denganku. Mataku mulai mendung, tetesan bening dari pojok
mataku pun mulai menetes. Apakah aku harus berpisah darinya??? **** Suasana kelas begitu ramai tetapi tak seramai hati Udin yang telah memutuskan suatu perkara yan amat tak mudah baginya. Melupakan Fauzah Kerut kesusahan benar terlihat dari dahinya. Kepalanya tertunduk menatap lantai yang terbuat dari keramik putih itu. “Din, Fauzah menangis semalam....” kata Ririn tiba-tiba. “Ah
masak Rin nggak mungkin ah aku nggak percaya” Udin berkata agak keras
tapi ada rasa bahagia di hatinya. Bahagia dan rasa bersalah berhasil
mencapai hati Udin. Udin mengangkat kepalanya dari bangku, tampak
pipinya merah bekas aliran darah yang tercepit di kulitnya. “ Udin, aku punya banyak saksi” “hmmmmm ya udah Rin trimakasih atas informasinya” Udin hengkang keluar kelas mengambil air wudhu. Pelajaran selanjutnya Alquran Fikiran
Udin mengambang entah ke alam mana, pelajaran Alquran lewat begitu
saja, Udin membiarkan jiwanya tenggelam dalam lautan kebingungannya.
Udin melamun.... “Udah Din coba anta minta maaf pasti dia mau
lagi.....” Saran Ririn membangunkan dari tidurnya, tak terasa jam
terakhir telah usai, panas matahari begitu terik membakar bumi. Tanah
pun menyilaukan pantulan matahari. “Begitukah Rin?? Aku dah nggak kuat lagi dengannya,??” Udin ngeyel “Hiya ma zalat shoghiroh Din, ngerti dikit lah” “ya udah Rin nanti aku fikirkan” *** Pagi
menjelang, Udi tergesa-gesa memasuki ruangan kelas, terlambat lima
menit cukup untuk membuat coretan huruf “ghoin” di buku absen, Udin
tidak mau lagi nilai absennya mempengaruhi nilai-nilai pelajarannya yang
lain, “wah jam pertama Ust. Sus, bisa gawat kalau aku telat” Udin
bergumam sambil membuka pintu kelas serta mengucap salam. “SSttttt Rin Rin” Udin berbisik memanggil Ririn yang duduk dibelakangnya. “Apa Din???” “Nitip ini ya, pada Fauzah” “owh O.K. boss lancar” “Hmmmm” Udin tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada Ririn. Malam
begitu pekat tak membiarkan satu bintang pun berhasil menghiasi mata
insan yang ada di Bumi, sinar rembulan hanya tampak meremang di balik
awan hitam, Udin teringat dengan apa yang dituliskan pada Fauzah tadi
pagi. ”Ukti, merupakan kesalahan terbesarku adalah kemarin ketika
akau memutuskan erkaraini dengan berpisah denganmu, aku harap anti
mengerti dengan keadaanku, aku putus asa tanpa kamu, jika pean kembali
aku akan bersabar menerima apa adanya dari Ukhti, kumohon maafkanlah
aku” Udin menggegam surat balasan dari Fauzah, tangan itu
terlihat dingin, di sertai urat nadi yang terlihat menonjol mengelilingi
kulit sawo mentah itu. bergetar tangan membuka sarat itu pelan, mendung
seakan ingin menurunkan semua isinya pada Bumi, ia perhatikan senti
demi senti kertas sidu itu. ”kak Udin yang baik maafkan aku, aku punya cinta, cintaku bahagia, tapi itu bukan kamu” Udin tersenyum membaca surat itu, senyum yang terlihat berat. “Yang penting anti bahagia” Gumam Udin... Malam
berkabut di tambah dengan mendung menambah parah hawa dingin, para
santri sudah terlelap dalam selimut sarungnya masing-masing, Udin masih
duduk di depan asrama, kedua tangannya menopang tubuhnya agar tidak
terlalu condong ke belakang, merenung dengan apa yang telah di
perbuatnya
0 Komentar