Aku Tak Pernah Mengundang Gerimis II

Aku terdiam mendengar kata-kata ayahku, tak pernah ku menyangka ayah bisa berkata begitu, itu pun tanpa alasan, tanpa basa-basi. Mungkin karena aku sudah tahu alasannya, aku ternyata sudah dianggap dewasa. “Trima kasih yah” kata yang sanggup ku ucap itu pun di dalam hati.
Langit tampak lebih gelap dari hari kemarin, dulu bintang masih bisa mengintip dengan cahayanya, kini cahaya itu hilang entah kemana, dari balik candela ku lihat warna warni cahaya lampu, yang konon bisa memunahkan populasi kunang-kunang akibat polusi cahaya, begitulah yang kubaca dari buku National Geographic, polusi cahaya terdengar aneh di telinga.
“Besok aja lho pak, kita bicarakan sama-sama” kakakku datang, mbak Sinta, kurasa dialah dewi penolongku saat ini. Hanya dia yang mungkin bisa mengerti dengan apa yang aku alami. Aku bangga dengan kakakku yang satu ini tegar menghadapi segala sesuatu.
“biar lah Dewi istirahat dulu pak..” mbak Sinta melanjutkan.


*****
“Mas… pripun???” kataku pagi-pagi lewat telfon
“Apa to dek, tiba-tiba kok Tanya gitu” Mas Inu menyambut. Pagi begitu hangat puluk 05.30 matahari sudah mulai menjinjing sinar raksasanya. Mulai memanaskan dingin yang ditinggalkan malam. Aku cerita pada Mas Inu apa yang terjadi malam itu.
“Dek, semuanya ada di tangan pean, dan orang tua pean, kalau pean memilihnya, pean jelas akan dibawa ke luar. Tapi hidup pean aku pastikan menyenangkan, kalau denganku, aku pastikan aku bisa mengantarkan pean pulang kapan pun yang pean mau, aku juga Insya Allah siap menyekolahkan s1 pean. Seperti apa pun musyawarahkan dengan keluarga pean, pean tau kan pernikahan bukanlah sesuatu yang sebentar, tapi untuk sampai akhir hayat, penyatuan dua insan, dua keluarga, dua budaya. Musyawarahkan lah dengan baik, dan berfikirlah dengan tenang. Ku mengharapkan yang terbaik dari pean.  Apapun itu aku pasti baik-baik saja dek. Percayalah” kata-kata Mas Inu selalu membuatku lebih tenang dari sebelumnya.  Air mataku meleleh, di antara kebingungan. Aku tahu orang tuaku lebih berfikir dua kali dalam hal ini terlebih apa yang telah terjadi dengan mbak Santi.
“Iya mas… Insya Allah akan kubuat ortuku percaya sama pean, Insya Allah… doain ya mas, nanti malem ortuku kayaknya mau bincang-bincang ma ku”
“Iya dek… mask an slalu doain yang terbaik buat adek…”…
******
Suasana arena tenis meja begitu menggelegar, suara teriakan kedua temannya tak memberi pengaruh kepadanya. Tak ada sedikitpun yang berubah, peluh yang keluar sehabis olahraga membuat bajunya basah, matanya menatap pagar berlumut yang ada di depannya, terlihat kepulan asap sampah yang dibakar di sampingnya. Saat di telfon Dewi tadi, dia hanya pura-pura tegar, pura-pura bisa menjadi tempat berlindung bagi kekasihnya. Padahal, hatinya runtuh seakan langit yang ada di atasnya pecah. Hanya kekuatan iman dari didikan ayah ibunya, membuat dia kuat. Hpnya digenggam kuat dengan sisa gundahan hatinya.
“Pak!!! Gantinen aku… set kedua, aku sudah lelah” teman Inu mengagetkan.
*****
Malam begitu ramai dengan suara gremricik air hujan yang begitu deras. Hujan yang pertama kali tahun ini. Aroma tanah yang basah membuat nyaman di paru-paru. Para petani menyambut gembira, dan tema hujan akan selalu menjadi tema utama mereka di mana-mana, tahlilan, arisan, bahkan takziah pun, tema hujan tak lupa menghiasi. Anganku melayang, gerimis malam ini tak pernah sekali pun aku undang. Datang begitu saja tanpa aba-aba. Seperti halnya Mas Inu, Mas Fauzi mereka berdua adalah tamu hatiku yang tak ada undangan. “Mungkinkah mereka juga akan pergi tanpa aku suruh????”
“Wi’, bapakmu iki ingin yang terbaik bagimu, aku tahu Mas Inu juga tak kalah baiknya, dia sudah menunjukkan itikad yang baik dengan datang kemari, sudah akrab dengan Nana, dan aku juga sudah Tanya sana-sini tentang mas Inu……….” kata ayah memulai perbincangan. Aku berharap ayah menitik kata-katanya di situ, tak ingin ada kata tapi, namun, akan tetapi.
tapi wi’….” Akhirnya kata-kata yang tak kuharapkan benar-benar keluar, sudah kebiasaan banyak orang menyanjung terlebih dahulu kemudian dijatuhkan sekeras-kerasnya, aku sudah menebaknya.
“sebenarnya, mas Fauzi lebih cocok untuk kamu, aku sudah mengenalnya semenjak dia kecil, dan tidak aku temukan sesuatu yang mengecewakan, bahkan dia sekarang sukses di luar, dan siap untuk menempuh masa depan bersama denganmu, menguliahkan kamu, masa depanmu sudah jelas nak, kamu mau kan nak??”.
Suara ayah begitu parau menjelaskan panjang lebar, posisiku yang terjepit tidak bisa lagi berkata apa-apa,aku hanya berpikir apakah demokrasi di keluarga ini sudah tidak ada lagi??. Aku tidak mendengar lagi suara gerimis hujan, padahal jelas terlihat detik-detik air yang menghantam bumi. Fikiranku menerawang, ancang-ancang memberikan jawaban yang tepat.
“Yah…” bibirku berhenti kaku
“tidak Mas Fauzi juga tidak Mas Inu….” Sambungku.
******
Masih terlihat jelas bekas perjalanan Inu dari Institutnya yang kebetulan berada di ujung propinsi. Aldi teman sekamarnya hanya memandangnya, tergopoh-gopoh mengusap bekas air hujan yang menaruh jaket di depan almarinya. Hanya sesekali senyum tampak.
“Ada kabar apa pak??” Tanya Aldi.
“Nggak ada apa-apa” Inu membuka laptopnya menulis di layar putih Microsoft word.
“Nulis apa pak” Aldi tidak pernah bosan menyela.
“Cerpen” Inu menjawab singkat.
“Sini tak bacane” nanti saja di blog-ku.
“Yah oke lah besok tak bacane” Aldi malas.
*******
Aldi meraih hpnya, opera mini siap dia jelajahi, nama temannya Inumahesaputa.wordpress di googling.
Ahlan Wa Sahlan fi Bloogii
Aldi tak sabar, dikliknya posting paling akhir. Aldi terdiam, tak ada kata yang keluar. Dia sangat teringat kata terakhir di cerpen temannya.
“Mas….. Ibuku berucap padaku, “Aku sudah mengenalmu sejak kamu belum lahir, dan kamu mengenalnya hanya kemarin sore, kenapa kamu tidak menurutiku????” maafkan aku mass.. aku milik orang tuaku T_T ” Aldi menutup bacaannya dan melihat wajah tegar Inu.

Posting Komentar

0 Komentar