Desa Sukorame sedang mengalami gonjang-ganjing. Hal ini dikarenakan ada rencana pendirian perguruan silat yang dibawa oleh warga setempat yang baru selesai kuliah dari luar kota. Rencana itu berusaha dihambat oleh Kang Trimo, mantan ketua karang taruna di desa itu yang juga tokoh pencak silat Tigras Hit yang sudah diikuti mayoritas penduduk kampung.
Undangan rapat sosialisasi pendirian pencak silat itu sudah disebar, dan akan diadakan di Balai Desa Sukorame tiga hari yang akan datang. Dua hari sebelum hari H, Kang Trimo mengumpulkan anak buahnya untuk melakukan briefing kepada mereka.
“Kampung kita tidak boleh ada perguruan pencak silat baru. Kita akan berbuat apa pun untuk menjadikan izin berdirinya ilegal!” Kata Kang Trimo berapi-api.
“Bagaimana caranya Kang? Bukankah mereka sudah mengantongi izin lembaga dari Kemenkumham? Saya dengar juga mereka sudah mengadakan lobi-lobi resmi ke aparat kecamatan hingga desa.”
“Ah. Kamu itu kurang cerdas. Bolehlah mereka punya izin ini itu, tapi jika mereka mengadakan kegiatan di sebuah gedung kita akan menuntut Izin Mendirikan Bangunannya, atau Sertifikat Hak Guna gedung itu. Entah apa kegunaan tetek-bengek itu pokoknya harus ilegal.”
“Kalau mereka tetap mengusahakannya, saya akan melobi ke Pak Lurah untuk menerbitkan aturan baru mengenai pengadaan organisasi baru,” lanjut Kang Trimo.
“Seperti apa, Kang?” Tanya yang lain.
“Seperti harus mendapatkan tandatangan 300 penduduk desa ini. Sudah, pokoknya tidak usah ada perguruan silat baru itu. Kita harus tetap mempertahankan marwah perguruan kita. Apaaa?”
“Ti-gras Hit!” Kata mereka bersama-sama begitu kompak.
Sebagai perguruan mayoritas di Sukorame tidak ada orang yang berani menanyakan: “Apakah Kang Trimo pernah melihat SK Kemenkumham pendirian Tigras Hit, atau Apakah aparatur Desa Sukorame sudah mendapatkan izin tertulis atas penggunaan Balai Desa sebagai tempat latihan setiap malam minggu, dan rentengan syarat birokratis yang lainnya.”
Yang pasti tidak akan ada yang berani bertanya mengenai hal itu, ini dikarenakan Kang Trimo ialah seorang pinisepuh perguruan silat ini, sekaligus konon katanya, Kang Trimo pernah mengalahkan 10 orang bersenjata parang dengan tangan kosong. Eh. Iya ding bukankah mayoritas itu bebas? Hahaha.
Jangan dikira dongeng yang saya ceritakan di atas tidak terealisasikan dengan baik di alam nyata yang penuh dengan senda gurau dan tipuan belaka ini.
Saya pernah mengikuti sebuah diklat yang diadakan oleh sebuah Kementerian. Di akhir acara, secara mengejutkan pihak panitia mendatangkan seorang yang pada tahun 2019 ditangkap karena kasus makar.
Dalam orasinya, dia mengungkapkan banyak isu. Yang pertama, tentang bahaya rencana permintaan maaf pemerintah kepada keturunan eks-PKI. Kedua, tentang rencana pendirian gereja di sebuah kecamatan di dekat rumah saya. Yang dia ungkapkan persis dengan apa yang saya dongengkan di atas.
“Apa bapak ibu tahu, di sana ada rencana pendirian gereja? Tidak ada yang tahu karena hal ini telah disembunyikan oleh media dan pemerintah. Kita menuntut dengan demo. Pendirian rumah ibadah harus mendapatkan tandatangan persetujuan dari 200 penduduk sekitar. Lah mereka tidak mempunyainya.”
Mendengarkan orasi itu saya pun bulu kuduk saya berdiri. Benar atau tidak saya tidak tahu, toh di tidak ada media nasional maupun lokal yang mengabarkannya, apalagi media sosial semacam WA, dan Facebook belum begitu menggema seperti sekarang. Jadi saya katakan saja dalam hati, “wallahu a’lam.”
Isnatin Ulfa senior saya dalam instansi yang menaungi saya sekarang pernah mengungkapkan dalam sebuah penelitiannya di Madura tentang kasus persekusi terhadap warga perempuan Syiah.
Seminar sudah dilakukan, buku sudah diterbitkan, dan belum ada tindak lanjut yang berarti dari aparatur berwajib, yang bisa mereka lakukan akhirnya hanyalah melarikan diri dari kampung kelahiran mereka sejauh yang mereka bisa. Apa lagi?
Maka jangan heran apabila Sunda Sabilulungan yang sedang geger akhir-akhir ini akan berakhir pada dua hal. Eksekusi atau penggantungan nasib yang terus menerus tidak menemukan ujungnya.
Jalan berpikir Kang Trimo boleh jadi adalah jalan yang kita amini. Kita diam-diam telah mengendapkan diri menjadi mayoritas yang penuh tirani. Mengenyahkan kehidupan orang lain yang ingin menunjukkan jati diri.
Saya menjadi ingat nasib pohon-pohon yang ada di depan rumah saya. Ketika penduduk menjadi mayoritas dan rumah-rumah telah menyesak ke pinggir-pinggir jalan, seluruh pohon-pohon di depan pagar dibabat tanpa ampun. Tidak satu pun pohon yang tersisa. Ibu mertua saya menangis dalam diam melihat pohon tomatnya terhempaskan tanpa ampun. Cabang dan ranting yang menggelayut di atas pohon pun dibabat habis.
Dan, yang terjadi sekarang ialah jalan lebar yang luas dalam pandangan mata namun menyisakan panas yang berkepanjangan. Tidak ada seorang pun yang berontak saat itu, kecuali satu dua orang yang tidak pernah dimasukkan dalam peradaban.
Pada saat membaca narasi yang saya tuliskan, sidang pembaca pasti membela emak saya dengan pohon-pohon tomatnya. Namun, mohon maaf, saya sendiri lah yang dengan tega membabat habis tomat-tomat mertua saya. Saya mencabutnya berikut akar-akarnya hingga saya melihat tomat itu layu tidak berdaya. Saya sendiri lah dengan rekan-rekan kerja bakti membabati pohon yang melengkung di atas jalan itu, hingga kini tak ada sehelai daun pun yang jatuh di atas jalan.
Akan tetapi, jangan khawatir, dalam lubuk hati saya yang paling dalam, saya mendeklarasikan diri saya dengan sebuah manifesto yang adi luhung, “Saya melawan kemungkaran dengan hati.” []
0 Komentar