Cerita tentang speech delay ini mengingatkan kembali kisah yang sama yang terjadi pada keluarga saya. Alif putra pertama saya divonis oleh dokter spesialis anak dengan speech disturbance.
***
Sebelum bulan puasa kemarin, saya memeriksakan Alif, putra pertama saya ke seorang dokter spesialis anak (DSA) di salah satu sudut kota Tulungagung. Pasalnya, sudah hampir dua bulan dia tiba-tiba enggan berbicara, lebih mirip meniru tingkah laku adiknya yang hanya menunjuk benda-benda yang dia inginkan.
Kekhawatiran kami bukan mengada-ada, Alif sudah masuk tahun keempat dari kelahirannya, sedangkan adiknya hampir memasuki umurnya yang kedua. Bagaimana bisa di umur segitu dia masih diam? Akhirnya kami sepakat mengantarkan ke DSA terdekat.
Kami dipanggil ke ruang pemeriksaan, dokter memeriksa Alif dengan memberinya beberapa pertanyaan. Dan benar, Alif ini tidak menjawab sama sekali dan malah fokus kepada gambar pesawat dan kereta api yang terpasang di seluruh tembok ruangan. Diam-diam, kami memendam sedih dalam hati.
Dokter menyelesaikan pemeriksaan dan vonis akan "dibacakan". Kami duduk dan berharap berita baik. "Sudah terlambat," kata dokter tidak nampak senyum dari dokter itu. "Mohon sarannya, Dok."
"Pergaulkan dia dengan anak yang lebih tua agar dia cepat meniru mereka."
"Bagaimana dengan sekolah PAUD, Dok?"
"Itu lebih bagus."
Sepulang dari rumah sakit, saya membaca surat dari dokter, "speech disturbance" begitu yang tertulis di atas kertas putih itu. Kami tidak ambil pusing, fokus kami hanya satu, mengikutsertakan dia di sekolah PAUD atau sering-sering mengakrabkannya dengan anak sebaya atau lebih senior dari anak saya.
Kami memutuskan untuk menyekolahkan Alif dengan pertimbangan sekolah itu dekat dan tentu saja, terjangkau.
Sebagai orang tua baru yang mempunyai pengalaman menyekolahkan anak untuk kali pertama, saya mempunyai kesimpulan: menyekolahkan anak itu berat. Segala persiapan dari pagi dan berbagai ekspektasi sempurna yang kami inginkan kandas manakala Alif enggan masuk kelas, atau sekedar duduk di kelas.
Ok. Kami akan menelateni sekolah anak ini dengan segala kerempongannya. Di tengah-tengah kegiatan itu kami beruntung karena saat itu memasuki bulan Ramadhan.
Saya mengajak Alif dan adiknya untuk shalat tarawih. Seperti diduga, sebagai seorang anak, mereka berlarian, tertawa beramai-ramai, melempar kopiah, dan berhenti jika ada salah satu yang menangis.
Kala itu, saya merasa beruntung mendapatkan lingkungan yang sehat untuk beribadah. Tidak ada seorang pun dari kami para jamaah membentak atau memarahi anak-anak. Semua seakan memaklumi keriuhan yang mereka buat. Meskipun, saya tahu sendiri Sang Imam menaikkan volume suaranya saat membacakan surat pendek. "Aduh, maaf, ya, Pak Imam."Pernah imam menegur, tapi tidak dengan membentak. Hanya menyuruh anak-anak untuk berjamaah.
Pelan tapi pasti Alif mulai berani berbicara, meskipun terkesan seperti mulai nol lagi. Dia mulai menirukan kebiasaan para seniornya untuk sesekali sujud, rukuk, dan berdiri meskipun hanya sekali kemudian berlanjut dengan "baku hantam" lagi.
Kini Alif kami sudah mulai bernyanyi, bershalawat, dan bercerita tentang kesehariannya meskipun dengan bahasa yang banyak kami belum tahu. Tapi setidaknya itu sudah cukup dengan perkembangannya sejauh ini. Saya tidak bisa membayangkan bila para imam dan jamaah di mushala kami garang-garang, membentak anak-anak, bahkan suka mengusir mereka jika ramai di mushala.
Ternyata, mushala menjadi pendidikan alternatif yang baik bagi Alif, tentu sambil tetap menjalankan pendidikannya di PAUD. Namun, siapa yang bilang pendidikan hanya terbatas kepada ruang kelas, guru, dan siswa? Bukankah seluruh sisi kehidupan ini adalah pendidikan itu sendiri?”
0 Komentar