Oleh : Ahmad Natsir
Sore hari kemarin saya mendapatkan pesan dari seorang teman lama, dia share via messege
sebuah status dari seorang pemerhati Islam Nusantara, Ahmad Baso.
Beliau mencoba membaca fenomena menjamurnya pesantren ala Gontor yang
dinilai lepas dari interaksi sosial. Maestro Postmodernisme Islam
tersebut menulis dalam salah satu media sosial, facebook, Kamis 20 Juli
2017;
Filosofi satu teks primbon Jawa tentang arti ikatan solidaritas kebangsaan: “pager mangkok luwih becik ketimbang pager tembok”
(pagar mangkok yg berisi makanan untuk dibagikan ke tetangga lebih
mulia daripada pagar tembok yg memisahkan saudara saudara sebangsa
sendiri)…. Dengan munculnya pesantren pesantren modern, kini filosofi itu dibalik: “pager tembok pondok luwih becik ketimbang pager mangkok santri kepada sesama masyarakatnya sendiri”
Ahmad Baso adalah sosok yang saya kagumi
buku-buku yang beliau tulis mempunyai landasan metodologi yang amat
kuat, sulit bagi seorang ecek-ecek untuk membantah pemikirannya. Tulisan-tulisannya yang ter-integrasi-interkoneksi begitu
mengalir ditambah dengan kemampuannya menggali kitab-kitab klasik
Nusantara sudah tak diragukan lagi. Pembaca lihat saja salah satu
bukunya Islam Pasca Kolonial, beliau mampu meramu teori-teori
pasca kolonial yang menjamur di pemikir Amerika Latin, hingga menggali
kitab-kitab klasik Nusantara. Suatu hal yang sangat luar biasa.
Tentu status beliau tersebut bukanlah
pemikiran utama beliau, status itu hanyalah pemikiran parsial, dan hanya
salah satu di antara puluhan status beliau di media sosial. Akan
tetapi, status ini layak dicermati, terlebih almamater saya adalah
pesantren yang diikuti dengan kata modern di belakangnya. Proposisi
“eksklusivitas pesantren modern” menjadi penanda dari statusnya.
Apakah eksklusivitas pesantren modern
layak menjadi sebuah proposisi yang berfaidah ilmu pengetahuan?
Bagaimana strategi Pondok Modern Al-Islam dalam berinteraksi sosial?
Ekslusivisme sebuah kata yang
diperkenalkan oleh sosiolog barat Alan Race, ekslusivisme merupakan
salah satu di antara tiga tipologi saat Race mencoba mengamati kebiasaan
penganut agama katolik, Race memetakan ‘budaya’ interaksi masyarakat
dalam tiga bentuk, Ekslusivisme saat penganut sebuah agama
merasa paling benar dan tidak menerima kebanaran dari agama lain, dan
cenderung menyalahkan penganut agama lain. Inklusivisme saat
penganut sebuah agama memiliki sifat terbuka dengan penganut agama lain,
cenderung mempunyai keyakinan bahwa agama yang dianut orang lain
memiliki potensi kebenaran. Terakhir, pluralisme. Lebih jauh
lagi penganut pluralisme menganggap seluruh agama mempunyai tujuan yang
sama, hanya jalan yang mereka tempuh berbeda, dari sinilah muncul
adagium “seluruh agama itu benar”.
Bisakah tipologi yang disebut oleh Race dapat untuk membaca “pesantren”?
Tentu, sekali pun tipologi tersebut pada
akhirnya mendapatkan banyak kritikan dari sosiolog sesudahnya. Tipologi
tersebut masih relevan untuk digunakan sebagai kacamata sosial yang ada
dalam masyarakat maupun sebuah instansi madrasah. Epistemologi yang
mendasari perbedaan tersebut sama, yaitu social act.
Proposisi dalam bahasa Arab dinamakan dengan qadiyyah, Al-Jabiri dalam bukunya Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi mengatakan la ‘ilma illa bi al-kulli ,
ilmu pengetahuan harus bersifat universal menyeluruh, negasinya bukan
ilmu pengetahuan jika tidak bersifat universal. Selanjutnya kebenaran
yang disajikan dalam ilmu pengetahuan harus berlaku secara umum dan
diterima di semua umat manusia. Sifat universal ini selain bertujuan
untuk mempermudah dalam pembelajaran juga agar tercipta suatu
keseragaman. Sehingga kebenaran yang diungkapkan dapat di terima
diseluruh pelosok dunia. Berangkat dari hal ini sebuah proposisi harus
bersifat universal, ketika ada satu atau dua hal yang ‘brobos’ dari
kaedah ini maka sebuah proposisi tidak akan berfaidah ilmu pengetahuan.
Maka proposisi ‘eksklusivitas pesantren modern’ perlu dikaji ulang.
Pondok Modern Al-Islam Nganjuk yang
berdiri pada tahun 1992 telah menetapkan dirinya sebagai pesantren yang
selain bisa ngaji harus menguasai berbagai disiplin ilmu. Maka sudah
tentu Pondok yang berlokasi di desa Kapas Kecamatan Sukomoro Kabupaten
Nganjuk ini berafiliasi kepada pesantren Al-Islam Joresan yang
selanjutnya menjadikan Gontor sebagai kiblat. Sense of crisis para
pendiri Pondok Al-Islam ini bermula dari kagalauan terpuruknya
nilai-nilai agama yang ada di masyarakat pada kala itu, hingga ada upaya
teror kepada Ustad Zainudin salah satu pendiri Pondok dalam bentuk
pelemparan bom di rumahnya.
Seiring dengan berjalannya waktu Pondok
Modern Al-Islam tetap bertahan dengan nuansa modern kepesantrenan,
terintegrasinya sistem pendidikan kementrian agama, pesantren salaf, dan
pesantren modern menjadikan Al-Islam secara tegas menyatakan
kemoderenannya. Apakah Al-Islam kemudian mempunyai sikap ekslusif?
Tertutup terhadap masyarakat sekitar?
“Pondok ikut masyarakat bukan masyarakat
ikut pondok” kata itu tegas diucapkan oleh almarhum KH. Zainal Arifin di
kala pondok dihadapkan dengan perpindahan tempat salat jumat masyarakat
Jatireo (nama dusun pondok). Nasihat ini berlanjut sepeninggal beliau,
Pondok Modern Al-Islam bersikap terbuka terhadap masyarakat. Jarang
terdengar terdengar suara Al-Islam yang menentang masyarakat sekitar.
Adalah Ustad Abu Mansur, salah satu assabiqunal awwalun diangkat
sebagai ketua takmir masjid utama di dukuh Jatirejo. Pengangkatan ini
bukanlah sebuah ‘aksi’ yang mendadak pun pula Ustad Abu tidak
memintanya. Kepercayaan masyarakat yang selalu beliau tanamkan kepada
masyarakat pada akhirnya menapakkan beliau sebagai orang nomor satu di
masjid Jatirejo. Almarhum KH. Zainal Arifin pun telah mendedikasikan
dirinya kepada masyarakat, terbukti dengan seringnya beliau diberikan
amanah mengisi mauidzah hasanah di sekitar pesantren.
Peran santri juga tak kalah penting,
santri diwajibkan bersilaturahmi selepas liburan idul fitri, Para
pengurus pesantren pun rela meliburkan kegiatan belajar mengajarnya
ketika ada masyarakat sekitar pondok yang meninggal dunia. Bahkan dari
segi pakaian, santri tidak diperkenankan memakai pakaian yang bersifat
eksklusif. Pernah suatu kali Almarhum semasa hidupnya menyuruh saya
untuk melarang santri yang memakai pakaian gamis. Hingga kalau lah
beliau tidak segan pasti beliau akan menyuruh para ustad dan santri
untuk mencukur jenggotnya. Hal ini beliau lakukan demi merawat peran
pondok di masyarakat. Bahkan tidak jarang Al-Islam menyertakan para
penduduk desa untuk kerja bakti dalam rangka pembangunan gedung baru,
bahkan Musala Al-Islam.
Dari pembahasan yang ada di atas saya
menarik sebuah benang merah, bahwa proposisi “eksklusivisme pesantren
modern” tidak mempunyai faidah ilmu pengetahuan, sifatnya yang tidak
baku serta tidak bisa dipukul rata kepada seluruh pesantren yang ada di
Indonesia, deuniversalitas proposisi ini menjadikannya tidak layak
sebagai proposisi ilmu pengetahuan, hal ini dibuktikan dengan Pondok
Modern Al-Islam yang bersifat inklusif, terbuka terhadap masyarakat.
Terbukanya ‘kran-kran’ kepemimpinan yang diserahkan kepada keluarga
besar Al-Islam menjadi titik balik eksistensi Pondok Modern dalam
masyarakat. “Pondok ikut masyarakat bukan masyarakat ikut pondok”.
Ponorogo, 21 Juli 2017
0 Komentar