Marx, “Aku Melawan Kapitalis”



I.                   Pendahuluan
Sumber Gambar: www.jejakpiknik.com
Saat saya berkunjung ke desa Kresek Madiun, minggu lalu, saya melihat monumen PKI serta terdapat relief bahkan patung yang menggambarkan kekejaman PKI, patung seorang kiai bernama Husen tertunduk tak berdaya dengan tangan terikat di bawah kilatan bendo salah satu pemimpin PKI Madiun, Muso. Penulis terbawa ke dalam sejarah kelam yang menyelimuti “perjuangan” menegakkan sebuah ideologi yang kini terlarang di Indonesia, komunis.

 
Membaca ideologi komunis tak lepas dari “nenek moyang”, pencetus dari ideologi tersebut, Karl Marx. Lewat magnum opus-nya Marx mengabadikan hasil pemikirannya, pengamatannya atas keadaan sosial yang ada di sekitarnya. Buku-bukunya dengan judul Poorfity of Philosophy, Das Capital, Communist Manifesto merupakan bacaan wajib bagi pemerhati Marx.
Membaca pemikiran Marx yang sudah menjadi “teks” tentu tak lepas dari teori baca yang dikenalkan oleh Scheleirmacher, Wilhelm Ditley, dan K. Betti, mereka dengan hermeneutika teoritisnya “memaksa” saya untuk mem”fana”kan diri, hingga membiarkan diri melebur dalam kehidupan sang penulis (Marx), agar bisa mendapatkan “makna objektif” sedekat mungkin. Bagi saya melupakan sejarah kelam masa lalu memang perkara tidak mudah tapi ini harus dilakukan. “demi ilmu pengetahuan”
Paling tidak, ada dua “sense of crisis” yang dialami oleh Marx, kegelisahan sosial dan kegelisahan pemikiran.
Kegelisahan sosial didapatkan oleh Marx saat melihat realitas yang ada di sekitarnya, Marx melihat Jerman yang pada waktu itu sedang gencar-gencarnya proses industrialisasi yang dibawa oleh Inggris, proses industrialisasi tersebut membawa dampak positif dan negatif sekaligus, dampak positif dari indrustrialisasi tampak pada terserapnya sumber daya manusia yang cukup banyak pada waktu itu, lapangan kerja banyak dibuka, membuat orang-orang pedesaan di Jerman bermigrasi secara masif ke daerah perkotaan. Namun, Marx melihat sebaliknya, kapitalisme yang sudah merajai di Britania tidak menjadikan penguasanya cukup, mereka memindahkan kekuasaannya ke Jerman, dan sukses memeras para tenaga kerja dengan upah yang murah. Kesenjangan yang terjadi antara yang kaya dan miskin cukup kentara pada waktu itu. Penderitaan yang dialami buruh karena pernggutan paksan atas hak-hak mereka. Inilah krisis pertama yang dialami Marx.
Kedua, Marx sebagai peraih Ph.D. dibidang filsafat di Univ. Berlin, menemukan poorvety of philosophy kemiskinan dalam filsafat, hal ini dikarenakan masa pemikiran pasca gereja yang diramaikan oleh para filosof terkenal seperti Emmanuel Kant, Decrates, Hegel, hanya berjibaku pada kawasan metafisika, mereka lupa kawasan yang benar-benar nyata dan terjadi di sekitar mereka. Marx mencoba memperkaya “kemiskinan” yang ada pada filsafat-filsafat mereka, seperti idealisme spritual yang diusung oleh Hegel, melengkapinya dengan wacana kritis atas realitas sosial yang menyakitkan kala itu.

II.                Sekilas Tentang Kehidupan Marx
Marx yang lahir di kota Trier, Jerman, tahun 1818, Marx Lahir dari pasangan Heinrich dan Henrietta, seorang Yahudi tulen.
Marx pada awalnya adalah seorang Hegelian, terlebih saat dia mengikuti perkuliahan di Berlin, inilah yang membuat Marx disebut dengan “Marx Muda” oleh para pembaca Marx karna dia memang seorang penggemar filsafat Hegel dan aktif dalam komunitas Hegelian.
Pertemuannya dengan Friederich Engels merubah warna pemikirannya, Engels memperkenalkan kepada Marx filsafat Feurbach, mempelajarinya dan pada akhirnya merubah pergelutannya dengan filsafat, bahkan Marx pada tahun 1843 saat musim panas menulis kritikan kepada komunitas Hegelian yang dulu sempat dia ikuti. Wajah kedua dari Marx ini sering disebut dengan “Marxis”.
Pergulatannya dengan jurnalistik, dan kemudian aktif dalam organisasi buruh 2 tahun sebelum kematiannya 1883, membuatnya getol menghadapi kekuasaan kapitalis. Das Capital, yang disusunnya pada waktu aktif dalam organisasi tersebut merupakan puncak dari kritikannya atas hegemoni kapitalis.

III.             Hegemoni Kapitalis
Marx  dalam Communis Manifesto mengungkapkan bahwa dalam sejarah manusia, keadaan sosial akan terus menerus berupa “perjuangan kelas”, pada zaman Romawi, ada kelas Raja, Ksatria, Pekerja, Budak, pada abad pertengahan akan ditemukan Feodal-jajahan, majikan-buruh, bahkan sekarang (pada era Marx) Borjuis-proletarian. Pertarungan antar kelas itu akan terus berlangsung tanpa bisa dihindari, redam-panas pertarungan kelas itu akan tetap ada selamanya.
Dalam Das Capital marx menyusun sebuah mode of production gambaran Marx atas hegemoni kapitalis sekaligus usahanya memperkaya “kemiskinan” filsafat pada waktu itu yang juga dia sebut sebagai “materialisme dialektis”.
Dalam mode of production Marx membagi struktur sosial menjadi dua bagian, pertama super struktur diisi oleh ideologi, budaya, pendidikan, seni, peradaban, norma, etika, bahkan agama dan segala bentuk kesadaran sosial lainnya.; kedua substruktur yang terbagi lagi menjadi dua yaitu alat produksi, yang berisi sarana- prasarana produksi, dan struktur kelas yang terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu borjuis atau kapitalis dan proletar atau buruh.
Namun, Marx juga mengenal kaum tengah antara borjuis dan proletar yang dia sebut dengan petty borgeuis socialism yang memihak pada kaum proletar dan selalu mengkampanyekan tentang bahaya penindasan kaum buruh, baik dari segi pembagian kerja, over produksi, anarki dalam produksi ketimpangan dalam distribusi yang kesemuanya menambah beban penderitaan yang dipikul oleh proletarian. Kapitalis jika ditinggal oleh para buruh mereka masih mampu bertahan bertahun-tahun, akan tetapi kaum buruh (baca: proletar) jika ditinggalkan oleh pemilik modal, berapa lama mereka akan bertahan?.
Dalam ranah super struktur, dalam kacamata Ideologi yang di’produksi’ oleh kapitalis hanyalah untuk memperkuat penguasaan mereka kepada kaum buruh.
Budaya misalnya, menurut Marx hanyalah membuat ilusi yang membuat kesenjangan antara orang kaya dan miskin terasa menghilang. Karena ideologi budaya ini bersemayam dalam otak para buruh, maka kesadaran mereka akan ‘penderitaan’ sesungguhnya tidak dirasakan.
Ideologi tiada lain merupakan reproduksi dari struktur kelas hanya memberikan arah yang berarit bagi para pemilik alat produksi, sedangkan bagi para proletar itu malah menyesatkan dan tidak mengubah hidup mereka apa pun juga.
Agama juga tak luput dari kritikan Marx, kritikan ini sebenarnya lebih mengarah kepada “idealisme spiritual” Hegel, Marx menganggap bahwasanya agama juga merupakan alat kapitalis untuk menghegemoni kaum buruh, ajaran agama dengan slogan ‘nrimo ing pandum’ membuat para proletarian diam menghadapi ketimpangan sosial yang dihadapi, bahkan slogan Marx yang paling terkenal “agama adalah candu” yang memabukkan seluruh penganutnya untuk tidak berjuang melawan hegemoni kapitalisme. Marx curiga, surga yang digambarkan manusia dengan begitu fantastisnya hanya merupakan refleksi yang dikarang oleh manusia sendiri. Kehidupan pasca kematian hanya sebagai hiburan atas keterpurukan yang mereka alami di dunia. Dalam dimensi Marx agama hanyalah buatan manusia, dan agama tidak menciptakan manusia.

IV.             Marx dan Cita-cita Komunis
Terciptanya masyarakat sosialis dengan meniadakan kesenjangan antar kelas, sekaligus menghilangkan ‘strata’ sosial merupakan hal yang sangat diidam-idamkan Marx. Tercapainya keadilan, dan meratanya kekayaan masyarakat adalah cita-cita seorang Marx. Misi yang diusung olehnya dalam meraih visi sosialnya tidak lain adalah revolusi dengan memberikan kaum buruh sebuah akses ke alat produksi maka dia yakin kesenjangan lambat-laun akan menghilang. Sumber daya alam yang urgen bagi umat manusia harus dikuasai oleh negara, bukan dikuasai oleh induvidu saja. Sehingga keuntungan akan sebuah industri dapat dirasakan secara jamak oleh masyarakat.
Marx tidak bercita-cita memberangus agama, ini yang perlu digaris bawahi, cita-cita Marx hanyalah mengentaskan kaum buruh (baca : proletarian) dari penderitaan panindasan yang berkepanjangan. Marx tidak rela kawan-kawannya dari para buruh hanya diam dalam menghadapi ‘over’ kerja yang tanpa dibarengi dengan hak kesejahteraan yang seimbang. Marx mengajak kaum buruh ‘turun’ ke jalan bukan untuk membawa ‘arit’ dan ‘bendo’ untuk dihunuskan kepada kaum agamawan, akan tetapi menyuarakan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Hak hidup dengan keadilan dan kesejahteraan.

V.                Kesimpulan
Dalam perjalanannya pemikiran Marx banyak mengalami distorsi, banyak negara atas nama komunis Marx membumi hanguskan agama, jutaan nyawa melayang demi penegakan ideologi Marxis, yang dalam keyakinan tidak sejalan dengan pemikiran Marx yang mengusung keadilan, kesejahteraan, dan anti penderitaan. ditambah kaum proletar yang kemudian (tercapai cita-citanya) menjadi pemegang alat industri, lupa akan masa lalu, sehingga kedudukan yang dia pegang saat itu bukan malah menghilangkan kesenjangan sosial yang terjadi, justru dia menjadi kapitalis baru dan kembali menjadi ‘hegemoni’ baru. Ideologi sebesar apa pun itu tak kan lepas dari kritik dan distorsi pemahaman.

Posting Komentar

0 Komentar