Gelap tetap menyelimuti perjalanan kami, kulangkahkan kakiku sembari
menelusuri pegangan pendaki yang bulat dingin itu sambil menyinari tanah
yang ada di depanku ku terkesima...
“Apa ni??” aku kaget sambil mengambil batu berwarna putih yang mudah hancur.
“Batu kapur!!” kata Agus bernada agak kesal mungkin agak jengkel karena aku musti berhenti setiap perjalanan lima meter.
“Hampir sampai dong, yesss!!”
“Yah lima meter lagi nyampe pos empat”
“hahahha sampai juga” Aku kegirangan.
***
Kami
menapaki tanah datar, aku belum mengetahui dengan jelas karena suasana
masih begitu gelap sehingga kita tidak bisa menjelaskannya.
“Pos empat!!!!” Teriak Agus
“Alhamdulillah” teriak Farhan
Terlihat
di ujung tempat itu ada bekas pondasi warung yang terbuat dari bambu
yang sudah kering terlihat pula bekas jerami yang tercecer serta arang
bekas pendaki lain membakar sesuatu, kita mendirikan survival (tenda darurat seadanya) dari jaz hujan.
Titik
air yang kami sangka adalah gerimis hujan ternyata adalah titik-titik
embun yang sangat deras. Udara pada waktu itu sangat dingin ditambar
dengar titik air yang jatuh sejak kami datang menambah siksaan pada
tulang kami. Farhan langsung menggelar jaz hujan yang di pakainya, tanpa
ba-bi-bu aku sambut jaz yang tergelar itu, tapi sangat dingin.
“Hehh dari pada tidur mendingan bantu-bantu sini lho” Seru Frhan sambil menalikan tali rafia di ujung jas hujan miliknya.
“Sek to Han aku izin dulu gak bisa bantu ya, aku udah gak kuat lagi, kakiku kaku-kaku” Sanggahku
Malam
begitu dingin aku cuek ketika teman-teman asyik minum kopi, ku lihat
asap api dari kompor komando masih mengepul. Lama berselang kami pun
membaringkan tubuh kami di atas matras hangat di kepala kami, dan jas
hujan plastik dingin menjadi matras alternatif kami.
“Barang nek disepelekne ki mesti dadi masalh” Sahut fendy bangga kata-katanya manjur.
Kami
tidak bisa tidur, kaki kami yang ternyata tidak ternaungi sempurna oleh
payung jas hujan menjadi sangat dingin minta ampun, walaupun kami
sudah memakai kaos kaki, dan sepatu tapi dingin tetap menusuk tulang
kaki kami, aku buka tasku, kuraih sarung Samarinda yang aku bawa dari
rumah ternyata basah dan malah menambah dingin ketika aku ambil, tak
berselang lama aku kembali terjaga dari tidurku dengan sebab yang sama
dengan tadi, dingin di kaki. Kakiku mencari-cari barang yang bisa
menghangatkannya, “Tas “ aku ingat, langsung aku raih dengan kakiku
ternyata kaki Salim sudah di dalam tasku sejak tadi, “Oalahhhhhhh”
pekikku kedinginan.
***
Pagi menjelang, aku lupa belum
salat magrib, isyak ditambah subuh, “Waduh salat tarawih aku nanti
siang,”. Terdengar suara teman-teman sudah bangun semenjak subuh tadi
berada di tepi jurang, aku pun penasaran, bangun dan berjalan
tertatih-tatih aku menyusul mereka. “HAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHH,
Subhanallah indah sekali” teriakku sampai terdengar oleh semua temanku,
aku seperti melayang di atas awan, rasa lelahku tiba-tiba menghilang,
yang tersisa hanya letih yang kurasakan di kakiku, aku melihat cahaya
kuning kemerah-merahan di atas awan yang berjajar seperti lipatan baju
tertata rapi, pemandangan matahari terbit yang paling indah aku lihat
seumur hidupku, “Aku berada di atas awan, aku tak bisa melihat
pemandangan kota lagi, aku serasa di planet asing, INI BUKAN BUMI”
kataku masih terkagum-kagum, memang tiga ribu meter di atas permukaan
laut bukanlah rendah, cukup untuk melihat atas awan.
Teman-teman
sudah persiapan untuk melanjutkan perjalanan, sementara aku memutuskan
untuk tetap di pos empat sambil mencari-cari sinyal hp yang kadang ada
kadang tidak.
Aku ditinggal oleh teman-temanku di pos empat, jarak
pos empat dan puncak sebenarnya sangatlah dekat hanya lima ratus meter,
tapi aku terlanjur memutuskan untuk istirahat dan tidak meneruskan
perjalanan, dan aku mengatakan pada diriku, “Aku tidak akan menyesal”
Aku menunggu dan menunggu teman-teman kembali dari tujuan mereka, sambil tetap istiqomah mencari sinyal.
***
Mereka pun datang tak sabar aku ingin melangkahkan kaki dari gunung ini,
“Seumur
hidup ini hanya sekali, akan ku larang anak-anakku pergi ke tempat ini,
cukup ayahnya saja yang merasakan, Fend, awas kalo anakmu nanti
ngajak-ngajak anakku kesini!!!” kataku pada Fendy mengancam
“Hahahahahahahaha” jawab Fendy tertawa dengan ucapanku, “Ya pak kita akan reuni keluarga di sini” sambil menatapku nyengir,
“Amiiiiiin....... eh kok amin se, aku wes wegah mbok jak rene”
“Kita kan calon tetangga pak?”
“Yayayayaya” kataku memutus perbincangan
Kami
pun berjalan turun menelusuri jalan yang tadi malam aku lewati, aku
sering mendengar mereka bicara tentang “Hargo Dumilah” nama puncak lawu
itu di tandi dengan sebuah tugu sebesar pundakku.
“Di atas ruame lho pak gak pengena???” kata Fendy tiba-tiba kepadaku.
“Karepmu, gak pengen aku” kataku sinis.
Kami
tak menemukan pasar gaib yang ku bayangkan adalah bangunan-bangunan
yang terbuat dari bambu dengan atap jerami di atasnya, ternyata pasar
dieng adalah prasasti yang terbuat dari batu yang tertumpuk berjajar.
***
Aku
berjalan mendahului teman-teman ku dengan semangat, nyeri di kakiku pun
menghilang sampai dua per tiga perjalanan aku yang agak lelah di susul
teman-temanku.
“Hahahahahahahahahahah” tawa mereka tiba-tiba
“Ada pa to???” tanyanku penasaran
“Hahahaahahahahhaha” tawa Fendy cuek.
“Liaten tanganmu pak???” sambungnya masih dengan tertawa
Ku
lihat tanganku ada benda kuning seperti pasta menempel membentuk garis
lurus di jaketku, bukan hanya jaketku, training, dan tas yang aku pake
tidak luput dari benda asing itu.
“Apa ini???” Tanyaku penasaran
“ Tadi aku lihat kamu menyok -maaf- telek hahahahaha”
“Hah!!!!!!!!!”
aku langsung melepas celanaku dan kumasukkan dalam tas kresek sedangkan
jaketku terpaksa hanya aku bersihkan dengan pasir tuju kali, aku pun
pulang mengenakan sarung, dan kopyah hitam, “Biar disangka orang cari
pesugihan” sambutku, masih terdengar juga ketawa-ketiwi teman-temanku.
“Hore aku dapat emas cair!!!!!!!!!” imbuhku, di ikuti gelak tawa mereka
Pengalaman yang tak kulupakan kataku dalam hati
0 Komentar