Hargo Dumilah -Pasar "Ghaib" Dieng Gunung Lawu III (-Habis)-

Gelap tetap menyelimuti perjalanan kami, kulangkahkan kakiku sembari menelusuri pegangan pendaki yang bulat dingin itu sambil menyinari tanah yang ada di depanku ku terkesima...
“Apa ni??” aku kaget sambil mengambil batu berwarna putih yang mudah hancur.
“Batu kapur!!” kata Agus bernada agak kesal mungkin agak jengkel karena aku musti berhenti setiap perjalanan lima meter.
“Hampir sampai dong, yesss!!”
“Yah lima meter lagi nyampe pos empat”
“hahahha sampai juga” Aku kegirangan.



***

Kami menapaki tanah datar, aku belum mengetahui dengan jelas karena suasana masih begitu gelap sehingga kita tidak bisa menjelaskannya.
“Pos empat!!!!” Teriak Agus
“Alhamdulillah” teriak Farhan
Terlihat di ujung tempat itu ada bekas pondasi warung yang terbuat dari bambu yang sudah kering terlihat pula bekas jerami yang tercecer serta arang bekas pendaki lain membakar sesuatu, kita mendirikan survival (tenda darurat seadanya) dari jaz hujan.
Titik air yang kami sangka adalah gerimis hujan ternyata adalah titik-titik embun yang sangat deras. Udara pada waktu itu sangat dingin ditambar dengar titik air yang jatuh sejak kami datang menambah siksaan pada tulang kami. Farhan langsung menggelar jaz hujan yang di pakainya, tanpa ba-bi-bu aku sambut jaz yang tergelar itu, tapi sangat dingin.
“Hehh dari pada tidur mendingan bantu-bantu sini lho” Seru Frhan sambil menalikan tali rafia di ujung jas hujan miliknya.
Sek to Han aku izin dulu gak bisa bantu ya, aku udah gak kuat lagi, kakiku kaku-kaku” Sanggahku

Malam begitu dingin aku cuek ketika teman-teman asyik minum kopi, ku lihat asap api dari kompor komando masih mengepul. Lama berselang kami pun membaringkan tubuh kami di atas matras hangat di kepala kami, dan jas hujan plastik dingin menjadi matras alternatif kami.
“Barang nek disepelekne ki mesti dadi masalh” Sahut fendy bangga kata-katanya manjur.

Kami tidak bisa tidur, kaki kami yang ternyata tidak ternaungi sempurna oleh payung jas hujan menjadi sangat dingin minta ampun, walaupun kami sudah memakai kaos kaki, dan sepatu tapi dingin tetap menusuk tulang kaki kami, aku buka tasku, kuraih sarung Samarinda yang aku bawa dari rumah ternyata basah dan malah menambah dingin ketika aku ambil, tak berselang lama aku kembali terjaga dari tidurku dengan sebab yang sama dengan tadi, dingin di kaki. Kakiku mencari-cari barang yang bisa menghangatkannya, “Tas “ aku ingat, langsung aku raih dengan kakiku ternyata kaki Salim sudah di dalam tasku sejak tadi, “Oalahhhhhhh” pekikku kedinginan.

***

Pagi menjelang, aku lupa belum salat magrib, isyak ditambah subuh, “Waduh salat tarawih aku nanti siang,”. Terdengar suara teman-teman sudah bangun semenjak subuh tadi berada di tepi jurang, aku pun penasaran, bangun dan berjalan tertatih-tatih aku menyusul mereka. “HAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHH, Subhanallah indah sekali” teriakku sampai terdengar oleh semua temanku, aku seperti melayang di atas awan, rasa lelahku tiba-tiba menghilang, yang tersisa hanya letih yang kurasakan di kakiku, aku melihat cahaya kuning kemerah-merahan di atas awan yang berjajar seperti lipatan baju tertata rapi, pemandangan matahari terbit yang paling indah aku lihat seumur hidupku, “Aku berada di atas awan, aku tak bisa melihat pemandangan kota lagi, aku serasa di planet asing, INI BUKAN BUMI” kataku masih terkagum-kagum, memang tiga ribu meter di atas permukaan laut bukanlah rendah, cukup untuk melihat atas awan.
Teman-teman sudah persiapan untuk melanjutkan perjalanan, sementara aku memutuskan untuk tetap di pos empat sambil mencari-cari sinyal hp yang kadang ada kadang tidak.
Aku ditinggal oleh teman-temanku di pos empat, jarak pos empat dan puncak sebenarnya sangatlah dekat hanya lima ratus meter, tapi aku terlanjur memutuskan untuk istirahat dan tidak meneruskan perjalanan, dan aku mengatakan pada diriku, “Aku tidak akan menyesal”
Aku menunggu dan menunggu teman-teman kembali dari tujuan mereka, sambil tetap istiqomah mencari sinyal.

***

Mereka pun datang tak sabar aku ingin melangkahkan kaki dari gunung ini,
“Seumur hidup ini hanya sekali, akan ku larang anak-anakku pergi ke tempat ini, cukup ayahnya saja yang merasakan, Fend, awas kalo anakmu nanti ngajak-ngajak anakku kesini!!!” kataku pada Fendy mengancam
“Hahahahahahahaha” jawab Fendy tertawa dengan ucapanku, “Ya pak kita akan reuni keluarga di sini” sambil menatapku nyengir,
“Amiiiiiin....... eh kok amin se, aku wes wegah mbok jak rene”
“Kita kan calon tetangga pak?”
“Yayayayaya” kataku memutus perbincangan
Kami pun berjalan turun menelusuri jalan yang tadi malam aku lewati, aku sering mendengar mereka bicara tentang “Hargo Dumilah” nama puncak lawu itu di tandi dengan sebuah tugu sebesar pundakku.
“Di atas ruame lho pak gak pengena???” kata Fendy tiba-tiba kepadaku.
“Karepmu, gak pengen aku” kataku sinis.
Kami tak menemukan pasar gaib yang ku bayangkan adalah bangunan-bangunan yang terbuat dari bambu dengan atap jerami di atasnya, ternyata pasar dieng adalah prasasti yang terbuat dari batu yang tertumpuk berjajar.
***
Aku berjalan mendahului teman-teman ku dengan semangat, nyeri di kakiku pun menghilang sampai dua per tiga perjalanan aku yang agak lelah di susul teman-temanku.
“Hahahahahahahahahahah” tawa mereka tiba-tiba
“Ada pa to???” tanyanku penasaran
“Hahahaahahahahhaha” tawa Fendy cuek.
“Liaten tanganmu pak???” sambungnya masih dengan tertawa
Ku lihat tanganku ada benda kuning seperti pasta menempel membentuk garis lurus di jaketku, bukan hanya jaketku, training, dan tas yang aku pake tidak luput dari benda asing itu.
“Apa ini???” Tanyaku penasaran
“ Tadi aku lihat kamu menyok -maaf- telek hahahahaha”
“Hah!!!!!!!!!” aku langsung melepas celanaku dan kumasukkan dalam tas kresek sedangkan jaketku terpaksa hanya aku bersihkan dengan pasir tuju kali, aku pun pulang mengenakan sarung, dan kopyah hitam, “Biar disangka orang cari pesugihan” sambutku, masih terdengar juga ketawa-ketiwi teman-temanku.
“Hore aku dapat emas cair!!!!!!!!!” imbuhku, di ikuti gelak tawa mereka

Pengalaman yang tak kulupakan kataku dalam hati

Posting Komentar

0 Komentar