Pasar "Ghaib" Dieng Gunung Lawu II

Belum habis kami terpesona dengan Pasar gaibnya, kami sudah dikejutkan lagi dengan kabar, baru-baru ini ada tiga anak pendaki menghilang tanpa diketahui rimbanya, entah karena tersesat atau menghilang tertutupi kabut. Suasana rumah semakin mencekam dengan cerita-cerita itu, namun aku berhasil menutupinya dengan menonton televisi yang ada di depanku. Rileks coy
Kuambil handphone yang tergeletak di meja kamar temanku ini, ku lihat jam yang tertera di pojok kanan atas, "Jam sebelas malam." Pekikku dengan diriku sendiri, besok pagi ada jadwal ke rumah Ana, ku tidak bisa tidur menunggunya memang aku belum pernah sempat ke sana selama ini.
"aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhm al-hamdulillah" aku menguap menyambut pagi kubiarkan terbuka tanpa kututup mulutku, "hmmmm kebiasaan yang sulit di rubah" komentarku pada diri sendiri. Kami salat subuh kemudian mandi satu persatu, "monggo sarapan!!!!" kata Fauzi yang bernama lengkap Farhan Fauzi ini pada kami yang sedang menikmati acara televisi,
"Bentar to Han, masih pagi," kataku.
"Halah gayane pak Na ke muesti, padahal udah mlolet-mlolet kayak gitu" komentar Fendy.
"Ya wes, ayo nek nu!!!" kataku yang memang perutku sudah demo semenjak bangun tidur tadi.



***

Jarum jam menunjukkan angka jam delapan tepat, ku tagih janji temanku yang ingin mengajak ke rumah Ana, menyeret-nyeretnya sampai dia mau, kita pun minta izin keluar, tanpa memberitahu kedua teman kami tujuan kami keluar yang sebenarnya
Lebih baik kita lewati cerita ini ya....
Sore hari Jumat pukul 14.00 kami siap berangkat dngan bekal yang insya Allah cukup untuk kami berempat, perjalanan menuju kaki Gunung Lawu bukanlah mudah kami harus menaiki jalan aspal yang curam, melewati Waduk Sarangan yang terlihat indah saat kami lewati, dihiasi dengan muda-mudi yang di mabuk cinta di setiap tepinya. Pemandangan seperti ini sudah umum menurutku. Dimana ada objek wisata di situ mesti ada "hiasan"nya. Perjalanan terus menanjak dari menit ke menit, pandangan kami semakin terhalangi kabut tebal saking tebalnya kami hanya mempunyai daya pandang lima meter, kami sering dikejutkan motor, truk yang muncul tiba-tiba di depan kami, bahkan jurang di depan kami pun tidak kelihatan sehingga membuat kami sering banting setir ke kanan ataupun ke kiri "weleh, belum nyampek gunungnya aja udah kayak gini" kataku pada Fendy yang semenjak tadi jadi Joki tanpa ada respons yang berarti pada kata-kataku tadi.
Akhirnya kami melihat bayangan bangunan putih mulai mendekat, setelah kami dekati ternyata adalah pos pendakian, kami istirahat di musala yang ada di samping kiri jalan, kulihat ada tempat wudu yang sudah tersedia di samping kiri musala ku pun semangat menuju tempat itu, "ngeeeek" suara kran yang terbuka terdengar menjerit, ku tunggu lima menit tidak ada air setetes pun yang keluar, "oalaaaaah" demoku, akhirnya aku berkumpul lagi bersama teman-teman yang sudah leyeh-leyeh sejak tadi.
"Ayo buat nescafe, anget ni pasti!!!" ajak Farhan.
"Ya ndang cari air sana!!!" kataku sekenanya, dia pun langsung pergi nylonong ke kamar mandi.
"Ayo buat!!!!!!" katanya sekembalinya dari tempat air dengan semangat
"Dapat air dari mana???" Kataku terheran-heran.
"Dari kamar mandi." Jawabnya enteng, "Hah!!!!"
Udah ah gak pa pa yang penting anget di badan, toh rasanya juga tetap Nescafe, gak brubah jadi Energen.
Selesai ishoma, kampiun pergi ke tempat parkir memarkir sepeda motor kami, sejenak kami melihat pos pendakian yang tutup sejak tadi, kami frustrasi, bermacam-macam pikiran putus asa terlintas di benak kami masing-masing mulai dari pulang lagi, jalan-jalan ke Jawa Tengah dan lain-lain. Ku coba beli pentol yang berhenti di pinggir jalan.
"Ndaki masih bisa to pak??" Kataku membuka pembicaraan.
"Bade minggah to mas??" katanya balik tanya, menambah rasa penasaranku.
"iya pak"
"Bisa mas bisa, tadi pagi banyak yang berangkat dari sini" katanya menyiram dahaga di perasaanku, aku pun kembali dn mengabarkan ke teman-teman, didukung dengan pernyataan penjual suvenir di pinggir jalan, kami punmembeli peta pendakian gunung Lawu, tertulis di peta itu "Gunung Lawu 3265 m dpl Lama pendakian normal +/- 7 jam". "Hah 7 jam?????" teriakku dalam hati tidak percaya dengan tulisan yang aku baca, kemudian aku tanya kepada pentual itu, "dpl tu apa pak?" "Di atas Permukaan Laut" jawabnya enteng.
"Bismillahirahmanirrahim" kami pun memulai pendakian pada jam 16.00 semangat kami masih membara, di sambut dengan pemandangan jejeran cemara yang sering disebut dengan "cemara sewu" menambah semangat kami. Jalan setapak yang kami lewati sudah diberi bebatuan yang memudahkan perjalanan. Tertata hingga ujung, kulihat tidak mempunyai ujung, entah sampai kapan kami akan berhenti berjalan. Lama-kelamaan aku merasakan pegal juga di lututku padahal belum mencapai pos pertama, dalam pendakian Lawu ada empat pos yang harus kami lewati. Satu setengah jam perjalanan menanjak aku baru lihat dari kejauhan ada bangunan kecil dengan tembok di salah satu sisinya beratapkan seng.
"Ini dia WELCOME TO POS I" teriak Salim.
"Halah, masih pos 1 aja bangga" kataku.
"Yang penting kan lega nu coy" sanggahnya.
Akupun mengiyakan dari pada tenaga habis buat debat mendingan buat naik aja lumayan satu huruf satu langkah. Kamipun istirahat sebentar di situ sambil bercanda.
"Mumpung langit masih terang ayo meneruskan perjalanan" kata fendy.
"berapa jam nyampe' pos II??" tanyaku penasaran.
"satu jam" jawabnya
Langit masih terang, belum menunjukkan merahnya kabut masih tipis menghalangi pandangan kami. Jalan bebatuan pun masih kami rasakan semakin naik dan naik. Kami mencoba mengobrol demi menghilangkan penat tak terasa kami sudah mencapai apa yang disebut orang-orang batu "jago", memang bentuknya memang mirip kepala ayam jago yang lurus ke atas, batu itu sebesar 4empat orang dewasa, kami pun mengambil gambar, kemudian perjalanan kami lanjutkan.
Titik-titik hujan sedikit demi sedikit kami rasakan, kami pun segera membuka tas masing-masing dan mengambil jas hujan dan memakainya, jalan menanjak serta gerimis hujan ditambah lagi jas hujan yang kami pakai semakin menambah berat perjalanan kami, tapi kami hanya diam tanda tenaga kami memang sudah terkuras banyak sekali, tapi semangat puncak tetap terpatri dalam jiwa kami, tibalah kami di pos II dan pos III kami hampiri dengan tanpa hambatan yang cukup menyulitkan.
"Alhamdulillah POS III!!!!!!!" teriakku ada teman-temanku
Kebetulan waktu itu kami istirahat dengan pendaki lain, yang ku heran mereka hanya memakai jaket tanpa membawa tas ataupun bekal. "mungkin sudah terbiasa mendaki gunung ini " gumamku dalam hati
"Bagaimana perjalanan setelah pos ini pak??" tanyaku setelah kenalan tadi.
"Yah.... lumayan mas lebih menanjak dari sebelumnya, kami berangkat dulu mas ya" jawabnya seraya memulai jalan kaki.
"Akupun menelan ludah mendengar kata-katanya tadi" "perjalanan sebelumnya aja sudah kayak gini, ini malah lebih menanjak dari sebelumnya" gumamku sambil menelan ludah untuk yang kali keduanya.
Hari sudah gelap aku niatkan menjamak salat magrib dan isyakku entah boleh atau tidak, aku merasa sudah terdesak untuk melakukannya.
Jalan depan kami mulai tak terlihat gelap dan gelap hanya itu yang kami lihat, kami nyalakan senter masing-masing, termasuk aku yang menyalakan senter korek, namun hasilnya kurang memuaskan, kulihat pemandangan bawah, indah, kerlap-kerlip lampu-lampu kota terlihat begitu kecil, namun tetap indah, perjalanan kami seperti melewati tangga bebatuan, aku berjalan setiap tangga seperti anak kecil umur lima tahun yang ingin menaiki kasur yang tinggi, kaki dulu kemudian baru tangan menopang seluruh tubuh sesaat kami istirahat kami duduk di atas batu, kami tidak lagi melihat kelap-kelip kota itu, saat kami menyinari langit "Subhanallah" hanya kabut asap yang biasa dihasilkan oleh pegunungan yang menghalangi sinar senter kami, menutupi semua yang ada di belakangnya bahkan menerangi dedaunan pun tidak sanggup semuanya gelap di alam terbuka. Kami benar-benar "buta" waktu itu.
Perjalanan pun kami lanjutkan, untungnya kami bertemu dengan dua pendaki lain, dari Magetan pula, salah satu di antaranya bernama Agus, kami pun melanjutkan perjalanan bersama, tapai aku benar-benar sudah dalam puncak kelelahanku, perjalanan per lima meter aku berhenti, istirahat karena kakiku sudah bergetar hebat dan tidak kuat menyangga tubuhku sendiri. Samar-samar kau melihat besi bulat yang di gunakan untuk pegangan pendaki, "sudah sampaikah pada puncaknya itu???" kataku mulai sumringah, tapi ternyata perjalanan masih sangat jauh menuju pos 4.
BERSAMBUNG JUGA
 The Journey Is BeginNgescafe di musalla

Posting Komentar

0 Komentar