Bintang malam terlihat muram,
cahayanya tampak mengintip di balik awan. Tapi entah kenapa kali ini.
Aku tak memperhatikannya. Bintang malam tidak lagi menarik perhatian
seperti sebelumnya.
“Dek… nglamun apa??” katanya membangkitkan aku dari lamunan sesaatku, pujian dari speaker masjid agung turut meramaikan suasana malming saat itu, tapi ku merasakan suaranya, lebih keras dari suara yang lain.
Mas Inu, seorang pria yang sepertinya baru saja aku kenal. Tiba-tiba menjadi manusia yang paling dekat denganku malam ini. Bermula hanya karena sebuah pesan jejaring social, facebook yang pastinya aku sudah lamat-lamat mengenal Mas Inu beberapa tahun yang lalu. Aku tak menyangka Mas Inu sering memperhatikan aku saat aku berangkat mengantarkan keponakanku ke TK. Lewat gedung badminton itu, dia memperhatikan aku.
“Maaf mas… ngalmun, hehehe” kataku kaget. Suasana taman begitu ramai. Malam minngu memang selalu begini. Banyak anak muda sekedar nongkrongmengabsen diri untuk selalu hadir di taman jantung kota ini. Ada yang naik becak cinta, sesekali kulirik keringat yang keluar dari para penendang pedalnya membuatku awang-awangen menaiki sepeda yang lagi nge-trend saat ini, “Kasiann…” kuucap dalam hati, ada yang juga berduaan, dan itu kami, aku yang selalu berfikir dua kali dalam hal ini. Kutegaskan pada diriku sendiri aku akan enggan dibonceng motor seorang pria kecuali pria yang aku cintai.
“Mas… Mas Fauzi mau ke rumah. Katanya mau kenalan dengan orang tuaku” akhirnya ku kata-kata itu bisa kuucapkan.
“………” ternyata benar dugaanku, Mas Inu kaget dengan apa yang aku katakan.
*****
18 November 2012, lepas magrib, Inu langsung meletakkan kopyahnya di atas almari, dibukanya satu kancing di bawah lehernya. Hpnya yang ada dalam almari tak luput dari sambarannya. Inu duduk didepan cahaya redup laptop miliknya, tatapannya kosong, menunggu suatu sesuatu yang sangat dinantinya. Tit tit… tit tit… “Ahhh…. Asemmmm mengganggu aja operator ini” ucapnya kasar ke hpnya. Tapi wajah Dewi yang manis mengubah tiba-tiba mengubah bibir kesalnya. Sesaat dia teringat dengan Fauzi, seniornya dulu yang sekarang sukses di luar kota. Membuat dia yang sekarang baru (akan) memulai menginjakkan kaki di dunia karir tergagap. Seakan Fauzi yang dulu menjadi teman udrag-udrug-nya kini harus menjadi orang yang pertama kali harus dia hadapi. “Dari dulu, beginilah cinta, deritanya seakan tiada akhir”.
1 Message received
Mas.. tadi mas Fauzi kesini. Dia ingin melamarku. Dia juga siap menikah, bahkan menguliahkan aku. Tapi mas jangan hawatir maas, q tetap memilih pean. J
Pesan itu membuatnya lega, dihirupnya nafas dalam-dalam, “Horeee!!!!” teriaknya lepas, hp pemberian salah satu familinya pun hampir dilemparkan.
*****
Aku membaca kembali sms yang kukirimkan ke mas Inu, kulihat teh yang mulai mendingin di disapa angin telah dinggal pemiliknya jauh ke luar kota. “Setelah ini aku mau kembali, aku menunggu jawabanmu dek assalamu’alaikum….” Itu kata terakhir darinya yang kuingat. Tak ada rasa apa pun saat dia berada dekat denganku, semua terasa biasa saja bagiku. “tak ada yang istimewa…. Tak ada yang istimewa” hatiku menyambut.
“Wi’……” tiba-tiba ayah duduk di kursi sebelahku tanpa kuketahui. Suara yang berwibawa, tetap seperti dulu, dan aku menyukainya.
“Pilihlah mas fauzi wi’”…… kata ayah tiba-tiba.
“Dek… nglamun apa??” katanya membangkitkan aku dari lamunan sesaatku, pujian dari speaker masjid agung turut meramaikan suasana malming saat itu, tapi ku merasakan suaranya, lebih keras dari suara yang lain.
Mas Inu, seorang pria yang sepertinya baru saja aku kenal. Tiba-tiba menjadi manusia yang paling dekat denganku malam ini. Bermula hanya karena sebuah pesan jejaring social, facebook yang pastinya aku sudah lamat-lamat mengenal Mas Inu beberapa tahun yang lalu. Aku tak menyangka Mas Inu sering memperhatikan aku saat aku berangkat mengantarkan keponakanku ke TK. Lewat gedung badminton itu, dia memperhatikan aku.
“Maaf mas… ngalmun, hehehe” kataku kaget. Suasana taman begitu ramai. Malam minngu memang selalu begini. Banyak anak muda sekedar nongkrongmengabsen diri untuk selalu hadir di taman jantung kota ini. Ada yang naik becak cinta, sesekali kulirik keringat yang keluar dari para penendang pedalnya membuatku awang-awangen menaiki sepeda yang lagi nge-trend saat ini, “Kasiann…” kuucap dalam hati, ada yang juga berduaan, dan itu kami, aku yang selalu berfikir dua kali dalam hal ini. Kutegaskan pada diriku sendiri aku akan enggan dibonceng motor seorang pria kecuali pria yang aku cintai.
“Mas… Mas Fauzi mau ke rumah. Katanya mau kenalan dengan orang tuaku” akhirnya ku kata-kata itu bisa kuucapkan.
“………” ternyata benar dugaanku, Mas Inu kaget dengan apa yang aku katakan.
*****
18 November 2012, lepas magrib, Inu langsung meletakkan kopyahnya di atas almari, dibukanya satu kancing di bawah lehernya. Hpnya yang ada dalam almari tak luput dari sambarannya. Inu duduk didepan cahaya redup laptop miliknya, tatapannya kosong, menunggu suatu sesuatu yang sangat dinantinya. Tit tit… tit tit… “Ahhh…. Asemmmm mengganggu aja operator ini” ucapnya kasar ke hpnya. Tapi wajah Dewi yang manis mengubah tiba-tiba mengubah bibir kesalnya. Sesaat dia teringat dengan Fauzi, seniornya dulu yang sekarang sukses di luar kota. Membuat dia yang sekarang baru (akan) memulai menginjakkan kaki di dunia karir tergagap. Seakan Fauzi yang dulu menjadi teman udrag-udrug-nya kini harus menjadi orang yang pertama kali harus dia hadapi. “Dari dulu, beginilah cinta, deritanya seakan tiada akhir”.
1 Message received
Mas.. tadi mas Fauzi kesini. Dia ingin melamarku. Dia juga siap menikah, bahkan menguliahkan aku. Tapi mas jangan hawatir maas, q tetap memilih pean. J
Pesan itu membuatnya lega, dihirupnya nafas dalam-dalam, “Horeee!!!!” teriaknya lepas, hp pemberian salah satu familinya pun hampir dilemparkan.
*****
Aku membaca kembali sms yang kukirimkan ke mas Inu, kulihat teh yang mulai mendingin di disapa angin telah dinggal pemiliknya jauh ke luar kota. “Setelah ini aku mau kembali, aku menunggu jawabanmu dek assalamu’alaikum….” Itu kata terakhir darinya yang kuingat. Tak ada rasa apa pun saat dia berada dekat denganku, semua terasa biasa saja bagiku. “tak ada yang istimewa…. Tak ada yang istimewa” hatiku menyambut.
“Wi’……” tiba-tiba ayah duduk di kursi sebelahku tanpa kuketahui. Suara yang berwibawa, tetap seperti dulu, dan aku menyukainya.
“Pilihlah mas fauzi wi’”…… kata ayah tiba-tiba.
0 Komentar