Rumah yang aku tempati sederhana, bahkan bisa dikatakan sangat sederhana
sekali, hanya berdinding bambu yang teranyam rapi, betapa tidak,
pekerjaanku sehari-hari adalah menjadi pemulung sampah di tempat
pembuangan akhir di desa seberang, tiap hari aku mengais plastik, atau
apapun dari “tempat dinas”ku, jangan dibayangkan betapa kotornya tempat
itu, belatung seakan aku anggap sama dengan tanah, bau busuk pun seakan
jadi oksigenku, kalau bukan karena kedua anakku aku takkan kuat sampai
sejauh ini, suami tercintaku yang selama selama ini sebagai tulang
punggung keluarga pun sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu.
Bintang
malam hari ini tidak terlihat, pertanda langit sedang gelap, kulihat
jam tangan yang hinggap di atas bambu dinding rumahku menunjukkan pukul
sembilan malam. Terasa sangat dingin, kedua anakku pun tidur terlelap,
Ardy dan Sany, satu laki-laki dan satu perempuan, merekalah yang selama
ini menjadi pelipur laraku saat aku sedang merasa pusing dengan keadaan
ekonomi yang semakin mencekik leherku, tawa mereka seakan lebih berharga
dari apapun yang ada di dunia ini.
“Bu, besok senin waktunya
bayar SPP, kumohon untuk bulan ini ibu ada uang ya bu ya, ku malu bu,
punya hutang sama sekolahan, berbulan-bulan SPPku belum dibayar”
tiba-tiba aku teringat dengan kata-kata Sani siang itu.
“Ya nak,
pasti ada, untuk belajarmu Ibu pasti ada, jangan kuatir nak ya” Jawabku
spontan, tanpa peduli bagaimana caraku mendapatkan uang SPP itu,
pikiranku melayang berpikir orang mana lagi yang belum aku hutangi.
Ku
terbangun dari lamunanku, tak terasa setengah jam, ku gunakan untuk
melamun, ini hari Sabtu, barang kali aku bisa lembur untuk membiayai
sekolah Sani. Yah, malam ini juga aku harus mengais sampah untuk anakku.
Ku ambil alat-alatku, kranjang, alat pengais, serta sepatu bot butut
yang sudah usang. Ku siap berangkat menatap suasana gelap perjalanan
menuju tempat dinasku.
“Pak Hasan” mulutku menyapa tetangga yang kebetulan lewat di sampingku.
“o Bu Wagi, malam-malam gini mau ke TPA bu??” sambutnya ramah.
“Iya”
“Hati-hati
lho bu, ni musim hujan, rawan longsor, apa lagi, sampahnya datang
biasanya tengah malam” nasihatnya, ku membenarkannya dalam hati, memang
benar, ini musim penghujan gunung sampah itu kapan pun bisa menimbun
para pemulung hidup-hidup. Tapi tekadku mengalahkan ketakutanku.
“Moga aja nggak papa pak, malam ini aku harus lembur pak, lagian juga udah biasa, mari pak” Jawbku sambil pamit.
“owh,
hati-hati bu ya...” aku berlalu, menapaki langkah demi langkah menuju
TPA, dingin yang tadinya menyelimuti kini agak mulai menghilang seiring
dengan perjalananku yang lumayan jauh.
Ku mengais sampah di
tengah gelapnya malam, sesekali senter yang aku bawa aku nyalakan hanya
untuk sebentar mengetahui sampah yang aku cari, sampah-demi sampah aku
balik, aku hanya mendapatkan sedikit, padahal sudah sekitar dua jam aku
di sini, kemudian ku nyalakan senterku lagi, aku perhatikan ada gunungan
sampah yang berkaki sampah-sampah botol minuman plastik, aku tersenyum
gembira, secepat kilat ku datangi tempat itu, kudapatkan juga sebotol
dua botol, tiga botol, banyak, sungguh bahagia yang kurasakan. Namun
tiba-tiba rasa lelah ku rasakan, lelah yang aku sendiri pun baru kali
ini merasakannya tubuhku melemah aku duduk sejenak untuk istirahat, dan
tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari atasku, sampah yang tadi kulihat
di atasku kini merambat dengan cepat menuju arahku.
“AAAAAA........” pekikku
Gunung sampah itu jatuh menimbun tubuhku, terasa berat, tubuhku melemah.......aku.......
***
Dr.
Nur malam itu pulang dari kerjanya, gerimis yang baru saja turun
membuatnya menutupi kepalanya dengan tasnya menuju rumahnya, serta-merta
menutup pintu mobilnya. Tiba-tiba datang seorang anak kecil agak basah
dan terengah-engah berlari ke arahnya, wajahnya pucat, rambutnya panjang
diikat kuda datang kepadanya dengan penuh ketakutan.
“Pak Dokter, ada orang tertimbun pak, cepat pak!!!” kata anak itu tiba-tiba sambil menarik lengan kanannya.
“Masak dek???? Di mana???”
“Mari pak, ikut saya..... cepat pak”
“Iya-iya” Pak Nur menaruh tasnya cepat-cepat, bergegas mengikuti anak itu.
Di tengah titik gerimis, pak Nur berlari dengan anak itu, sampailah mereka di gundukan sampah di TPA seberang desa.
“Di sini pak, di sini” teriak anak laki-laki itu, jari telunjuknya mengarah ke gundukan tnah tepa di samping kanannya.
“di sini dek???”
“Iya pak cepat” desak nak itu.
Pak
dokter menggali-gali tumpukan sampah itu, baju putih yang dia kenakan
sudah rata dengan air dan bercampur dengan sampah, namun dia tetap
menggali dan menggali. Tak lama kemudian datang seorang penduduk desa
yang kebetulan ronda untuk membantu,. Akhirnya sesosok perempuan
setengah baya ditemukan tak sadarkan diri, pak dokter teringat dengan
anak kecil yang mengajaknya ke tempat ini.
“Dek.... dek”
panggilnya kemudian menengok kanan kiri, namun hanya orang-orang dewasa
yang ada di sekelilingnya. Dia menepiskan masalah anak kecil itu. Dan
kemudian membawanya beramai-ramai ke rumahnya.
***
Aku
tersadar, pelan aku melihat atap rumahku, langit masih terlihat mendung,
terlihat dari sinar matahari yang tidak berwarna oranye, padahal jam
masih mengarah ke angka enam pagi, segera kau bangun untuk mendirikan
salat subuh, air mataku menitik saat doa yang ku ucap bersyukur mas aku
masih diberi kesempatan untuk hidup, sekaligus menghidupi anak-anakku
“Alhamdulillah ya Allah...”
“Wassalamu alaikum” seseorang mengucapkan salam dari balik pintu rumahku.
“Waalaikum oh pak dokter, silakan masuk” tanyaku badanku masih sempoyongan mukena yang kukenakan segera aku lepas.
“Gimana kabar anda bu???” Tanya dokter dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Baik
dok, o ya dok, bagaimana orang-orang tau kalau aku tertimbun sampah”
tanyaku keheranan, memang saat aku mengais sampah, tak ada seorang pun
yang ada di sekelilingku.
“owh,,,,, kebetulan, waktu saya pulang
kerja, tiba-tiba datang seorang anak kecil menunjukkan tempat di mana
ibu tertimbun, ya aku langsung menggali tempat yang ditunjukkan anak
itu, tapi anehnya bu, dia menghilang setelah aku berhasil menemukan ibu”
“Trimakasih ya dok, kalo anda tak datang entah gimana nasib saya” mataku kembali berkaca-kaca.
.”Nggak
papa bu, ni semua atas kuasa-Nya, saya permisi dulu ya bu, ini obat
untuk ibu” tangannya mengulurkan obat untukku kemudian langsung bergegas
pulang.
“Lho,,,,,,,” kata dokter tib-tiba setelah melihat anakku Ardy terbaring di atas tempat tidur.
“Kenapa pak????” Tanyaku langsung keheranan.
“Inikan anak yang malam itu menunjukkan tempat ibu tertimbun aku yakin dia bu, baju celananya ya itu yang dipakai....?????”
“Nggak
mungkin pak” aku kaget, air mataku tiba-tiba keluar, menetes, “Nggak
mungkin paakkk, anakku Ardy telah lumpuh semenjak 5 tahu yang lalu...”
Keadaan menjadi hening.......
terangkat dari kisah nyata
0 Komentar